SOLO, solotrust.com - Istilah ‘bahaya laten komunisme’ merupakan sebuah diskursus politik yang berkembang pada masa Orde Baru setelah kejatuhan rezim Presiden Soekarno. Sebagai sebuah diskursus politik, istilah ini merupakan jargon yang di dalamnya terdapat kepentingan politik dari rezim penguasa ketika itu, termasuk salah satu yang utama adalah bagaimana melanggengkan kekuasaannya dengan menyingkirkan kelompok-kelompok oposisi atau mereka yang bersikap kritis terhadap pemerintah.
Pelabelan sesuatu yang dianggap ‘bahaya’ oleh rezim penguasa selalu memiliki refleksivitas yang serupa, utamanya terkait bagaimana itu selalu dilakukan sebagai justifikasi sekaligus manipulasi untuk membungkam mereka yang kritis dan berposisi berseberangan dengan pemerintah.
Jika dulu kita punya label ‘bahaya laten komunisme’, sekarang kita digaungkan secara terus-menerus tentang apa itu ‘bahaya radikalisme Islam, HTI, Taliban,’ atau semacamnya.
Meski demikian, pertanyaan lebih lanjut perlu diajukan mengenai apakah ideologi komunisme merupakan sesuatu yang berbahaya? Telaah secara lebih mendalam terkait paham dan ajaran dari ideologi komunisme mutlak diperlukan untuk membuat kita bisa berposisi secara proporsional tentang pembenaran terkait komunisme sebagai ideologi yang berbahaya.
Dalam artian, pemahaman teoritik, filosofis, dan historis terkait ideologi komunisme dan penerapannya di seluruh penjuru dunia mutlak untuk dimiliki terlebih dulu, alih-alih kemudian kita melabeli sesuatu hanya berdasar diskursus politik rezim penguasa tertentu.
Untuk saya, penolakan terhadap ideologi komunisme menjadi tidak terhindarkan bukan karena Orde Baru menyatakannya demikian. Akan tetapi, ini perlu menjadi sebuah sikap kritis setidaknya berdasarkan tiga aspek, yakni: pertama, komunisme tidak memberi ruang bagi eksistensi ideologi atau sistem politik yang lain sebab pada akhirnya tujuan akhir yang ingin dicapai dari fase kehidupan manusia adalah masyarakat komunisme.
Karena itu kemudian, tidak hanya agama yang akan disingkirkan oleh komunisme, tetapi budaya populer, kebebasan dalam aktivitas ekonomi, serta pastinya demokrasi akan dihilangkan ketika yang berlaku adalah sistem politik komunisme.
Kedua, gagasan komunisme yang menghapuskan kepemilikan hak milik personal dan menjadikan properti menjadi sesuatu yang bersifat komunal, ternyata dalam praktiknya hanya merupakan manipulasi elite-elite partai komunisme yang berkuasa secara tunggal.
Akibatnya, semangat untuk menghilangkan stratifikasi sosial berdasar dikotomi kelas borjuis dan proletar adalah nonsens sebab kelompok-kelompok borjuis digantikan posisinya oleh elite-elite politik dan aparatus negara yang secara mengerikan menguasai segala hal dalam aspek politik, ekonomi, hukum, dan bahkan sosiokultural dalam masyarakat secara total.
Ketiga, komunisme menjadi terlampau mustahil untuk diterima sebagai sebuah ideologi dan sistem politik sebab praktik nyata dari bagaimana ideologi komunisme berlaku sebagai sebuah sistem politik ternyata hanya menjadikan negara berjalan secara totalitarian, otoritarian, dan diktator secara bersamaan.
Karena itu kemudian, negara dengan sistem politik komunisme menjadi antikritisisme dan super represif karena setiap mekanisme kontrol dari masyarakat terhadap negara akan selalu berujung pada tindakan kekerasan negara terhadap mereka. Karenanya, tidak mengherankan jika sejak 1910-an hingga 1990-an jumlah korban akibat represi serta praktik-praktik yang diklaim sebagai revolusioner membawa korban sekitar 90 juta orang.
Ketiga alasan inilah yang, sekurang-kurangnya, menjadi faktor mengapa komunisme tidak dapat diterima.
*Oleh: Rezza Dian Akbar, SIP. M.Sc. Penulis adalah sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS)
(and_)