Hard News

Siapa di Balik Aksi Teror terhadap Tokoh Agama?

Nasional

1 Oktober 2021 14:07 WIB

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Rezza Dian Akbar, SIP. M.Sc

SOLO, solotrust.com - Perkembangan situasi politik nasional di masa ini menunjukkan tensi yang ada di antara kelompok Islam politik dengan negara yang saat ini diisi oleh elite-elite politik dari kelompok nasionalis sebagai kelompok dominan dengan didukung oleh kalangan Islam tradisional.

Bagi sebagian kalangan yang mengalami masa pada 1960-an hingga akhir kekuasaan Bung Karno dan naiknya Orde Baru, banyak di antara mereka merasa terdapat banyak refleksivitas realita sosial, politik, juga ekonomi di masa tersebut yang tak jauh berbeda dengan situasi saat ini.



Secara ideologis menjadi hal alamiah ketika kelompok komunis dan kelompok Islam berada dalam posisi berhadap-hadapan satu dengan lainnya. Ketika agama menjadi ajaran yang menyampaikan perintah untuk menyembah Tuhan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan Tuhan dalam kitab suci, komunisme justru menganggap agama sebagai candu yang memanipulasi kesadaran kritis masyarakat untuk menerima penindasan dan alienasi yang mereka terima dari kelas pemilik modal yang difasilitasi oleh negara dan dijustifikasi oleh institusi keagamaan.

Pengalaman di 1960-an masih menyisakan memori individual ataupun kolektif tentang bagaimana ketegangan di antara kelompok agama, khususnya Islam, dan kelompok komunis yang menjadi representasi politik ideologi masing-masing menghasilkan peristiwa-peristiwa kekerasan berdarah, baik di tahun-tahun setelah 1965 ataupun sebelumnya. Memori itu melekat secara abadi dan hinggsa saat ini belum sedikit pun hilang dari benak ataupun psikologis mayoritas orang di negeri ini.

Ketika saat ini rezim yang berkuasa merupakan representasi dari kelompok nasionalis dan didukung oleh kelompok Islam tradisional, mereka yang beroposisi dan berpandangan kritis terhadap rezim ini umumnya berasal dari kalangan Islam modern yang di banyak aspek politik sekaligus juga menjadi pengusung gerakan serta ideologi Islam politik.

Ketidaksetaraan di mata hukum serta represi secara konstan dari penguasa merupakan psikologis yang tertanam dan dirasakan oleh banyak kelompok Islam. Karena itu, memori tentang apa yang terjadi di 1960-an awal hingga meletusnya tragedi 1965 dan sesudahnya, menguat kembali bagi banyak kalangan.

Meski kemudian banyak pihak berupaya ‘menenangkan’ psikologis tentang kebangkitan PKI dengan mencoba meyakinkan bahwa organisasi itu telah mati, bagi saya ini tidak akan membawa banyak pengaruh yang nyata sebagaimana yang diharapkan.

Pertama, kematian PKI secara formal sama sekali tidak berarti kematian ideologi komunisme. Sebagai sebuah ideologi, komunisme akan terus berkembang, dipelajari, bahkan akan selalu berevolusi secara paham maupun ajaran tentang penerapannya.

Kedua, meskipun rezim penguasa saat ini merupakan representasi dari kelompok dan ideologi nasionalisme, namun nasionalisme PDIP merupakan ideologi nasionalisme a la Bung Karno yang dibangun dari fondasi paham kiri Marxisme.

Belum lagi, sejarah kehidupan dan orientasi politik Bung Karno yang dekat dan berupaya menggabungkan nasionalisme, agama atau Islamisme, dengan komunisme, senyatanya menjadi penanda bahwa ideologi kiri adalah bagian dari diri Bung Karno.

Karena itu, secara historis, ideologis, dan juga psikologis, PDIP menjadi institusi politik yang memiliki kedekatan dengan ideologi serta kelompok kiri. Realita inilah yang kemudian ditangkap dan dimaknai oleh kelompok Islam bahwa antagonisme dan represi yang mereka yakini mereka terima dari negara merupakan kenyataan politik, membuat banyak kalangan dari kelompok Islam meyakini benturan antara mereka dengan kelompok kiri yang saat ini berafiliasi pada pemerintah sebagai realita historis dan ideologis yang mutlak dan pasti akan terjadi.

Ketiga, selama psikologis masyarakat, khususnya dari kalangan Islam masih tetap meyakini bahwa terdapat kriminalisasi, persekusi, dan represi oleh negara beserta aparatusnya kepada mereka, maka selama itu pula rasa ketidakadilan ini akan berkoneksi dengan memori tentang benturan mereka dengan kelompok komunisme di 1948 serta di dekade 1960-an.

Karena itu, asumsi bahwa peristiwa-peristiwa kekerasan ataupun serangan yang menimpa banyak pemuka agama Islam belakangan ini akan makin memperkuat keyakinan mereka bahwa masa di mana mereka akan berhadap-hadapan dengan kelompok kiri kini telah muncul kembali.

Karena itu, selama negara tidak bisa menghadirkan rasa aman dan trust dari kelompok Islam bahwa hukum ditegakkan secara adil, tidak ada kriminalisasi dan represi terhadap mereka yang beroposisi secara kritis pada rezim, dan kemudian terdapat kejelasan identitas, motif, aktor intelektual, serta status hukum dari kasus penyerangan terhadap para tokoh pemuka agama Islam, maka trust dari kelompok Islam terhadap pemerintah akan terus berada dalam titik yang rendah.

Apalagi, ketika pelaku penyerangan pemuka agama Islam ini lagi dan lagi bebas karena dinyatakan gila atau terganggu kejiwaannya, itu berarti negara sedang secara sadar menghilangkan kepercayaan dari banyak kalangan kritis di masyarakat. Hal ini sekaligus memperburuk relasinya dengan sebagian kelompok Islam, kemudian dengan sendirinya memperburuk tensi yang saat ini sudah ada dan senyatanya makin berkembang ke arah tidak menggembirakan hati kita semua.

*Oleh: Rezza Dian Akbar, SIP. M.Sc. Penulis adalah sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS)

(and_)

Berita Terkait

Berita Lainnya