SOLO, solotrust.com - Peningkatan kasus Covid-19 varian Omnicron di wilayah Solo berdampak pada penurunan tingkat hunian hotel yang sangat signifikan pada bulan Februari 2022. Padahal, industri perhotelan memasuki masa low season di bulan ini sehingga kondisi menjadi lebih paceklik lagi.
Pejabat Humas Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Solo, Sistho A. Sreshtho mengungkapkan PHRI Solo mencatat pada bulan Februari ini okupansi rata-rata hotel di Solo dan sekitarnya hanya sebesar 40-42 persen.
"Jika kita bandingkan dengan Januari, okupansi sempat mencapai 60-65 persen. Artinya ada penurunan 10-15 persen. Ini sangat besar. Dan memang faktor terbesar adanya lonjakan kasus Omnicron," ungkap Sistho pada awak media, Rabu (23/2).
Tidak hanya segmen instansi seperti pemerintahan atau korporasi, segmen keluarga juga mempengaruhi penurunan okupansi perhotelan di Soloraya.
Kata Sistho, sejumlah kegiatan yang telah terjadwal di hotel-hotel terpaksa ditunda karena sejumlah pemerintahan atau perusahaan kembali menjalankan sistem bekerja dari rumah (Work from Home/WFH). Sedangkan tamu hotel dari segmen keluarga terpaksa menunda untuk menginap atau staycation di hotel.
"Tidak ada market yang bergerak. Ini membawa dampak negatif bagi perhotelan di Solo dan sekitarnya," imbuh Sistho.
Padahal, melihat kondisi pada Januari lalu, Sistho mengungkapkan bahwa tingkat okupansi yang mencapai angka 60-65 persen melebihi perkiraan. Bahkan lebih baik jika dibandingkan kondisi pada tahun 2019 sebelum pandemi.
"Sehingga kami berpikir bulan ini (Februari) akan ada rebound. Ternyata ada malah kondisinya seperti ini," keluh Sistho.
Terlebih lagi, bulan Ramadan akan segera tiba di mana hampir semua kegiatan akan berhenti. Sehingga dunia perhotelan akan kembali pada kondisi paceklik.
Sistho mengaku pihaknya kesulitan memperkirakan kondisi tidak pasti seperti ini akan berlangsung sampai kapan. Adanya vaksin booster juga belum diketahui seberapa efektifnya untuk menghadapi varian Omnicron. Vaksin booster juga belum tentu meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk berkegiatan di hotel.
"Ini sangat fluktuatif sekali. Dan kita tidak bisa memprediksi. Selama pandemi, hotel berjalan tanpa outlook," tandas Sistho.
Ia mengungkapkan, perhotelan tidak mempunyai data indikator untuk menganalisis situasi ini akan berlangsung sampai kapan. Apalagi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dikeluarkan di saat-saat terakhir. Padahal satu kebijakan dapat memengaruhi strategi dan hasil akhir dunia perhotelan dan pariwisata. (rum)
(zend)