Hard News

Pentas Monolog Pejalan, tentang Hari Perempuan Internasional dan Perjuangan Penyintas Kekerasan

Jateng & DIY

16 Maret 2022 12:45 WIB

Pentas monolog Mentari Tenggelam di Tengah Hari dengan lakon Sekar. Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Jebres, Solo. Selasa (15/3). (Foto: Solotrust.com/dks)

SOLO, solotrust.com – Peringati Hari Perempuan Internasional di Maret ini, Komunitas Monolog Pejalan menggelar pentas puisi dan monolog Mentari Tenggelam di Tengah Hari bertempat di Teater Arena Solo, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) pada Selasa (15/3) malam.

Acara dibuka secara simbolis dengan pembunyian kentongan yang dibagikan kepada seluruh penonton pukul 20.20 WIB sebagai simbol daruratnya kepedulian masyarakat terhadap isu kesetaraan dan keadilan perempuan.



Lekas suara kentongan terdistorsi dan lampu arena memadam, Fitri Nganti Wani mengawali pementasan dengan pembacan puisi yang berjudul “Setara” 20.25 WIB.

Suara lantang Fitri di tengah khidmat menjadi pengantar penonton menuju acara puncak, yakni pementasan monolog Mentari Tenggelam di Tengah Hari, dengan lakon Sekar sebagai korban pelecehan seksual dan mesti hidup dengan rasa trauma.

Selama pementasan, penonton dibuat menghanyut ke dalam cerita Sekar, dengan narasi peristiwa kekerasannya dari orang terdekat, hingga hari-hari Sekar mesti menghadapi rasa trauma serta ketakukan atas stigma penyintas oleh masyarakat.

Lakon Sekar paripurna pukul 21.10 WIB, bersamaan dengan Sekar yang berusaha tetap tegar dengan penderitaan masa lalunya.

Naskah digarap laki-laki

Penulis naskah pertunjukan monolog, Gigin Hilal Ahmadi mengaku sedikit kesusahan dalam proses kepenulisannya, terlebih sebagai kaum Adam, ia mesti mengambil sudut pandang sebagai perempuan dalam menceritakan lakon sekar.

“Proses susah sih, karena di sini saya laki-laki ya, susah mengambil sudut pandang sebagai perempuan apa yang terjadi, apa yang dirasakan,” terangnya pada wartawan setelah pentas selesai.

Untuk lebih mendalami cerita, Gigin mengungkapkan bahwa ia juga mendengarkan cerita langsung dari penyintas pelecehan seksual.

“Pada akhirnya aku ketemu satu penyintas, itu memberikan sedikit tentang rasanya gimana, saya mencoba menjadi perempuan yang diperkosa gimana, ya itu jadinya naskah yang saya tampilkan tadi,” ungkapnya.

Kendati begitu, Gigin menuturkan masih banyak kekurangan dengan apa yang ia dan rekan-rekannya kerjakan. Untuk itu, ia berharap dapat menyelenggarakan acara di peringatan serupa.

Namun, pihaknya tak dapat menjanjikan, hanya saja, dikatakannya komunitasnya, Monolog Pejalan rutin menyenggaran pentas monolog setiap 2-3 bulan sekali.

“Ini sebagai pijakan awal, tahun depan diadakan lagi model seperti ini atau bagaimana, mungkin kita ngulik kita lebih dalam didahului kajian-kajian dari kita,” katanya.

“Monolog Pejalan itu acara rutinan di Warung Pejalan tiga bulan sekali dua bulan sekali,” bebernya.

Sementara itu, salah satu anggota komunitas pemerhati perempuan –yang menjadi partner–  Jejer Wadon, Lisa berharap adanya pementasan ini dapat terus membukakan mata khalayak atas perjuangan kesetaraan dan keadilan gender.

Terutama, juga sebagai upaya menumbuhkan empati dan keperpihakan kepada korban-korban penyintas kekerasan seksual.

“Kisah itu kan hanya sekelumit dari kasus yang terjadi, dan semua orang punya empati setidaknya, berpihak lah, tidak memberikan stigma lah, tidak menyudutkan korban lah,” terangnya.

Selain acara pementasan puisi dan monolog, pihak komunitas juga mengalakan donasi dari beberapa donatur serta dari tiket penonton, untuk disumbangkan kepada korban penyintas kekerasan terhadap perempuan. (dks)

(zend)