Pend & Budaya

Sejarah Reog Ponorogo: Bentuk Perlawanan hingga Pernah Dilarang di Masa Penjajahan

Pend & Budaya

11 April 2022 16:48 WIB

Reog Ponorogo yang ditampilkan di Orasi Reog Ponorogo Milik Indonesia bertempat di pelataran SDN Wonosaren, Pucangsawit, Jebres, Solo. Sabtu (9/4) malam. (Foto: Dok. Solotrust.com/dks)

Solotrust.com - Kesenian reog Ponorogo ramai dibicarakan masyarakat akhir-akhir ini. Hal ini menyusul klaim negara tetangga, Malaysia yang hendak mengusulkan reog ke UNESCO sebagai warisan budayanya.

Menurut laman resmi Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Ponorogo, kesenian reog Ponorogo merupakan kesenian yang memiliki sejarah panjang hingga berumur lebih dari 2 abad, salah satunya tertuang di naskah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPA) Amengkunagara III dari Solo, dalam Pupuh di Serat Centini. 



Sementara, Reog ponorogo memiliki 2 legenda sejarahnya –yang turut pula membedakan alur ceritannya– yakni pertama  reog dari legenda Suryongalam (Ki Ageng Kutu) berisi sindiran politik yang dilakukan oleh Demang Suryongalam (Ki Ageng Kutu) dari Wengker terhadap pemerintahan Raja Brawijaya V yang dinilai lemah  karena terlalu disetir oleh permaisurinya (Putri Campa).

Sedangkan, alur cerita reog versi legenda Bantarangin lebih menitikberatkan pada cerita prosesi lamaran Prabu Kelanasewandana dari kerajaan Bantarangin kepada Putri Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Musik Reog Ponorogo terdiri dari seperangkat instrumen musik reog yang terdiri dari kendang, kempul/gong, kethuk-kenong (sejenis bonang), slompret, tipung (kendang kecil), angklung, penembang (pengrawit), dan penyenggak.

Pada perkembangannya, reog Ponorogo juga  menjadi salah satu kesenian yang turut hadir pada masa perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda dan Jepang. Bahkan, kesenian ini pernah dibatasi pada masa tersebut lantaran dikhawatirkan memicu munculnya gerakan nasionalisme dan pemerontakan.

Berbeda dengan masa penjajahan, pada masa orde lama (1960), disebutkan jika seni reog sering digunakan oleh partai politik sebagai sarana mengumpulkan massa. Menjelang tahun 1965, juga muncul beberapa organisasi kesenian, seperti  BREN (Barisan Reog Nasional) didirikan oleh Partai Nasional Indonesia dan CAKRA (Cabang Reog Agama) yang didirikan oleh Nahdatul Ulama (NU).

Kini, reog Ponorogo yang berasal dari Ponorogo telah menyebar ke seluruh pelosok negeri, tak terkecuali di luar pulau Jawa. Reog Ponorogo juga diketahui berkembang di beberapa negara seperti Amerika, Belanda, Korea, Jepang, Hongkong, dan Malaysia.

Membuat masyarakat gusar

Sebagai kesenian yang disebutkan berasal dari tanah Ponorogo, tentu saja kabar pengklaiman oleh negara lain memicu kegusaran masyarakat dunia nyata dan maya. Di dunia maya, tagar #savereogponorogo pun menjadi trending topic warganet di jagat Twitter, sejak kabar itu muncul hingga Minggu (10/4).

Pun demikian dengan di dunia nyata, seniman dan masyarakat berbondong-bondong turun ke jalan mendesak pemerintah tegas dalam mengambil sikap. Terlebih, pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, justru mempriotaskan jamu dibanding reog Ponorogo untuk diusulkan ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda.

Salah satu aksi massa terjadi di Solo, yang diikuti 21 paguyuban seniman se-Soloraya dan masyarakat umum pada Sabtu (9/4) malam. Sekira ribuan massa itu tumplek untuk menyampaikan orasi sembari menampilkan kesenian dari 35 gagak merak dan tari jatilan di pelataran SDN Wonosaren, Solo.

Salah satu sesepuh reog Ponorogo, Eko Haryanto alias Mbah Singo mengatakan, aksi itu dilakukan beberapa pihak tanpa perencanaan, dan terlibat dalam aksi lantaran tergugah untuk merawat kesenian dari tanah Ponorogo ini.

“Untuk Reognya datang dari seluruh penjuru Soloraya dan sekitarnya, kita kumpul jadi satu, dengan metode bahwa ini ada kegiatan tanpa ada undangan, mereka berpartisipasi, dan ini ada 35 dadak merak yang ada di sini, 21 paguyuban yang hadir di malam ini,” katanya Sabtu (9/4) malam.

Mbah Singo menyatakan akan terus mengawal polemik ini hingga mendapat tanggapan serius pemerintah melalui Mendikbud Ristek.

“Kita akan menunggu perkembangan; sampai Bapak Menteri [Mendikbud Ristek: Nadiem Makarim] memberi tanggapan kepada kami,” pungkasnya.

(dks)

()