Hard News

Kisah Pemungut Sampah Putri Cempo: Cari Pakan Babi hingga Kumpulkan Bungkus Makanan

Jateng & DIY

12 Mei 2022 15:05 WIB

Suasana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Solo. (Foto: Dok. solotrust.com/dks)

SOLO, solotrust.com – Semerbak aroma sampah menghiasi area sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Solo.  Semerbak itu, bahkan terasa sebelum kaki menginjakkan lahan becek di tengah gunungan sampah.

Namun, aroma busuk seolah tak mampu menembus hidung-hidung para pekerja pemungut sampah, mayoritas warga sekitar. Warga RW 36 Mojosongo, Jegrik adalah satu di antaranya. Saat ditemui, sore itu ia nampak santai nongkrong bersama temannya di tumpukan sampah.



Sembari bersantai Jegrik juga nampak sibuk mengais sisa-sisa makanan untuk dijadikan pakan babi. Jegrik mengaku memiliki banyak babi di kandangnya yang ia jual tiap enam bulan sekali. Dalam sehari, dirinya mampu mengumpulkan hingga tujuh karung sisa-sisa makanan.

“Kalau makanan babi dari sisa makanan manusia pokoknya, sayuran, nasi, roti, untuk makan aktivitas sendiri. Dalam sehari lima karung sampai tujuh karung. Kami sistem ternak enam bulan sekali dijual,” katanya, saat ditemui solotrust.com, Rabu (11/05/2022).

Jegrik telah melakukan aktivitas sebagai pencari pakan babi di tumpukan sampah ini selama 12 tahun. Ia akan berjibaku melawan semerbak busuk itu setiap harinya mulai pukul 08.00 WIB hingga petang sekira pukul 18.00 WIB.

“12 tahun pakannya dari sini, untuk sisa makanan manusia pokoknya, nyari jam delapan pagi sampai jam enam sore paling nggak,” ungkapnya.

Seolah hidungnya kebal, Jegrik tak lagi menghiraukan aroma semerbak sampah lantaran ia sudah terbiasa berada di area tersebut sejak 1992 silam.

“Dari kecil saya, sebelum sekolah SD saya sudah di sini dari tahun 1992,” terangnya.

Berbeda dengan Jegrik, pemungut sampah lain, Ester, merupakan pemain baru di tempat itu. Wanita asal Busukan, Mojosongo baru enam bulan berjibaku mengumpulkan sampah, setelah ia tak lagi bekerja di gudang pabrik yang kini tutup karena gulung tikar.

Ester mengungkapkan, awal mula ia terjun ke gunungan sampah itu lantaran tergiur oleh tetangga-tetangganya yang lebih dulu memungut sampah. Sementara, sampah jenis plastik hingga bungkus makanan ia kumpulkan untuk dijual ke pengepul.

“Saya baru setengah tahun di sini. Saya dulu kan kerja di gudang, karena tutup, terus ada tetangga kerja begini, terus saya ikut-ikut, ternyata lumayan,” ujarnya.

“Kalau sampah ini dari plastik botol, kardus-kardus, bungkus makanan, dikumpulkan di satu tempat, baru dipilah-pilah. Jam tiga biasanya ada yang nimbang, nampung pakai mobil. Mereka beli nanti di sana dipilih-pilih lagi,” imbuhnya.

Ester mengaku mampu meraup untung hingga Rp70 ribu dalam sehari. Untung itu ia tuai setelah berjibaku dari pukul 10.00-11.00 WIB hingga sore hari.

“Kalau penghasilan Rp70 ribu, kadang-kadang lebih sedikit. Saya aktivitas dari jam sepuluh atau sebelas, paling siang jam 12,” tuturnya.

Lewat sampah-sampah sisa itu pula, Ester mampu menyekolahkan kedua anaknya yang kini duduk di bangku SMP dan SMK, meski ia tak lagi bekerja tetap.

“Ya lumayan buat makan, biaya anak sekolah. Anak yang satu SMK, sedangkan yang satunya lagi SMP,” terang Ester. (dks)

(and_)