Hard News

Tak Ada yang Akhir di TPA oleh Pemungut Sampah Putri Cempo

Jateng & DIY

13 Mei 2022 14:16 WIB

Aktivitas warga sekitar di antara gunungan sampah Putri Cempo, Mojosongo, Jebres, Solo. (Foto: Dok. Solotrust.com/dks)

SOLO, solotrust.com – Semerbak aroma sampah menghiasi area sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Solo.  Semerbak itu bahkan terasa sebelum kaki menginjakan lahan becek di tengah gunungan sampah.

Namun, aroma busuk seolah tak mampu menembus hidung-hidung para pekerja pemungut sampah yang mayoritas warga sekitar.  Warga RW 36 Mojosongo, Jegrik adalah satu di antaranya. Saat ditemui, sore itu ia nampak santai nongkrong bersama temannya di tumpukan sampah.



Sembari bersantai Jegrik juga nampak sibuk mengais sisa-sisa makanan untuk dijadikan pakan babi. Jegrik mengaku memiliki sepuluhan babi di kandangnya, yang ia jual tiap enam bulan sekali. Dalam sehari, Jegrik mampu mengumpulkan hingga 7 karung sisa-sisa makanan.

“Kalau makanan babi dari sisa makanan manusia pokoknya, sayuran, nasi, roti, untuk makan aktivitas sendiri. Dalam sehari lima karung sampai tujuh karung. Kita sistem ternak 6 bulan sekali dijual,” katanya saat ditemui Solotrust.com Rabu (11/5).

Jegrik telah melakukan aktivitas sebagai pencari pakan babi di tumpukan sampah ini selama 12 tahun. Ia akan berjibaku melawan semerbak busuk itu setiap harinya pukul 08.00 WIB hingga petang sekira pukul 18.00 WIB.

“12 tahun pakannya dari sini, untuk sisa makanan manusia pokoknya, nyari jam 8 pagi sampai jam 6 sore paling nggak,” ungkapnya.

Seolah hidungnya kebal, Jegrik tak lagi menghiraukan aroma semerbak sampah lantaran ia sudah terbiasa berada di area tersebut sejak 1992 silam.

“Dari kecil saya, sebelum sekolah SD saya sudah di sini dari tahun 1992,” terangnya.

Berbeda dengan Jegrik, pemungut sampah lain, Ester, merupakan pemain baru di tempat tersebut. Wanita asal Busukan, Mojosongo baru enam bulan berjibaku mengumpulkan sampah, setelah ia tak lagi bekerja di gudang pabrik, yang kini tutup karena gulung tikar.

Ester mengungkapkan, awal mula ia terjun ke gunungan sampah itu lantaran tergiur oleh tetangga-tetangganya yang lebih dulu memungut sampah. Sementara, sampah jenis plastik hingga bungkus makanan ia kumpulkan untuk dijual ke pengepul.

“Saya baru setengah tahun di sini. Saya dulu kan kerja di gudang, karena tutup, terus ada tetangga kerja begini, terus saya ikut-ikut, ternyata lumayan,” ujarnya.

“Kalau sampah ini dari plastik botol, kardus-kardus, bungkus makanan, dikumpulkan di satu tempat, baru dipilah-pilah, jam 3 biasanya ada yang nimbang, nampung pakai mobil, mereka beli nanti di sana dipilih-pilih lagi,” imbuhnya.

Ester mengaku mampu meraup untung hingga Rp70 ribu dalam sehari. Untung itu ia tuai setelah berjibaku dari pukul 10-11 WIB hingga sore hari.

“Kalau penghasilan Rp70 ribu, kadang-kadang lebih sedikit. Saya aktivitas dari jam 10-11, paling siang jam 12,” tuturnya.

Oleh sampah-sampah sisa itu pula, Ester mampu menyekolahkan kedua anaknya yang kini duduk di bangku SMP dan SMK meski ia tak lagi bekerja tetap.

“Ya lumayan buat makan, biaya anak sekolah. Yang satu SMK yang satu SMP,” terang Ester. (dks)

(zend)