Hard News

Keberagaman Wayang Potehi Khas Tiongkok di Kelenteng Pasar Gede, Dimainkan 4 Dalang Jawa dan 1 Dalang Tionghoa

Jateng & DIY

18 Juli 2022 12:53 WIB

5 dalang (1 dalang utama, 1 dalang pendamping, dan 3 orang pemusik) dalam pertunjukan wayang potehi Kelenteng Tien Kok Sie Pasar Gede Solo, Minggu (17/7) malam. (Foto: Dok. Solotrust.com/dks)

SOLO, solotrust.com - Keberagaman menyelimuti pentas wayang potehi 12 hari berturut-turut di Kelenteng Tien Kok Sie Pasar Gede Solo yang dibuka Minggu (17/7) hingga Kamis (28/7) mendatang. Bukan hanya karena pertunjukan ini dapat dinikmati masyarakat lintas agama dan etnis, namun juga datang dari dalam bilik yang diisi lima seniman dalang dan pemusik.

Kendati kesenian ini datang dari selatan Tiongkok dan umum dimainkan dengan bahasa Hokkian, pada malam itu, lima formasi dalang dan pemusik di dalam bilik diisi masing-masing satu dalang Tionghoa dan satu Jawa. Kelima orang itu didatangkan dari Jombang dan Surabaya.



Sementara itu, kesenian asal selatan Tiongkok tersebut juga terus mengalami perkembangannya terutama penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Di mana, wayang potehi secara orisinil menggunakan bahasa Hokkian.

"Campur bahasanya, kalau full (Hokkian) banyak yang nggak ngerti, termasuk orang (keturunan) Tionghoa," ungkap dalang asal Jombang, Slamet Raharjo ditemui, Senin (17/7) malam usai pentas.

"Kalau umpama di Indonesia itu Jawa, kalau di Tiongkok Hokkian, wayang ini dari Hokkian, itu makanya bahasanya bahasa Hokkian," imbuhnya.

Demikian, penggunaan bahasa itu tak memengaruhi cerita dari wayang potehi yang umum menggunakan cerita-cerita sejarah Negeri Tirai Bambu. Menurut Slamet tak ada perbedaan berarti wayang potehi di negeri asal dan di Indonesia.

"Enggak beda saya rasa, sama ceritanya cuma beda bahasa, sana bahasa asli Mandarin/Hokkian, cuma kalau di sana full kalau Hokkian ya Hokkian, kalau sini kan campuran. Kalau sumber cerita seperti buku sejarah Tiongkok lah, seperti itu," tutur Slamet.

Dituturkan Slamet, alasan para seniman wayang potehi tetap menggunakan cerita Tiongkok ini lantaran menyesuaikan bentuk tokoh wayang yang masih bergaya tokoh-tokoh Tionghoa.

Selain itu hal tersebut juga agar wayang potehi tak terlalu keluar pakem.


“(cerita lain?) Soalnya bonekanya kan enggak sama bentuknya, dulu di Jakarta di Museum Fatahilah itu (pernah) mintanya cerita legenda Jawa, ya kita bisa kalau ada wayangnya, ada bajunya, enggak model kayak gini, sudah paten bentuknya," jelasnya.

"(Dan) dari pendahulu, supaya enggak luntur, enggak keluar pakem," tambahnya.

Sementara itu, Ketua Kelenteng Tien Kok Sie Sumantri Dana Waluya menjelaskan wayang potehi masuk Indonesia oleh para imigran asal Tiongkok ke Indonesia, di mana sebagian merupakan pengguna bahasa Hokkian.

"Itu dibawa oleh perantauan dari Tiongkok daratan, oleh perantau orang-orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia, perantauan dulu pekerja tambang kalau malam hari bosan, (lalu) membawa orang-orang yang mengerti wayang potehi main di pertambangan itu, itu sejarahnya masuk ke Indonesia," tuturnya.

Wayang potehi mengalami pasang-surut selama dibawa ke Indonesia. Dikatakan, wayang ini sempat dibatasi selama orde baru (Orba). Namun, setelahnya kembali dipentaskan secara umum.

Setelah itulah, Kelenteng Tien Kok Sie juga memiliki pentas rutin 12 hari berturut-turut yang diadakan setiap tahunnya pada tanggal 19 bulan Lakgwee tahun Imlek dan pertama kali digelar sejam 2010 silam.

"(Setelah Orba) mulailah akses sosial budaya kesenian dibuka seluas-luasnya sampai saat ini," ucap Sumantri.

Pada tahun ini pertunjukan digelar dua sesi setiap pukul 16.00-18.00 WIB dan 18.30-20.30 WIB. Warga pun dapat menyaksikan tanpa dipungut biaya.

"Setiap hari selama 12 hari, dan ini hari pertama, dibuka untuk umum kita sediakan makanan untuk umum juga, siapapun boleh masuk makan bersama, dan boleh belajar," ucapnya. (dks)

(zend)