SOLO, solotrust.com - Paguyuban/organisasi pengusaha dan pengemudi angkutan pengiriman barang Solo meminta pemerintah mengatur ulang regulasi distribusi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang selama ini dilakukan melalui aplikasi My Pertamina.
Mereka mengusulkan penambahan kuota per-hari dan per-pembelian.
Selama ini, diatur Surat Keputusan Kepala Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas) Nomor 04/P3JBT/BPH MIGAS/KOM/2020, termaktub aturan mengenai pengendalian penyaluran jenis BBM tertentu, salah satunya angkutan umum orang atau barang roda enam maksimal 200 liter per hari.
Sedangkan, sekali pembelian dibatasi Rp200 ribu/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)
"Intinya itu, dipermudah beli solar, sekarang beli solar aksesnya Rp200 ribu saja," kata Pengawas Paguyuban Mangunggal Sopir Solo (PMSS), Erwanto di Kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Organisasi Angkutan Darat (Organda) Solo, Rabu (7/9) sore.
Mereka menyebut, pembatasan itu berakibat pada pembengkakan biaya pengiriman barang. Bagi pengguna My Pertamina yang sudah mencukupi kuota 200 liter itu mesti menunggu pergantian hari agar bisa dilayani SPBU.
Sementara, sejauh ini pemerintah juga belum mengatur regulasi jelas terkait kenaikan biaya kirim muatan barang yang dapat disepakati antara transporter dan pengusaha.
"My Pertamina Rp200 ribu suruh pindah lagi Rp200 ribu, pindah waktu sudah habis, jalan keluar lagi beli keluar pulau apa sampai? Kita beli lagi nunggu ganti tanggal," tambahnya.
Terkait hal itu, perwakilan Asosiasi pengusaha juga meminta pemerintah mengatur ulang regulasi itu. Anggota Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Atrindo) Semarang sekaligus Wakil Ketua Organda Solo, Djoko Ali Sugiyanto menyebut regulasi saat ini sudah tak relevan digunakan.
Pemerintah, ungkapnya, perlu mengatur ulang regulasi itu demi memperkecil pembekakan biaya kirim barang yang dianggap merugikan pengusaha dan pengemudi.
"Mengimbau pemerintah untuk distribusi solar kuotanya ditambah, kalau kuotanya seperti saat ini tetap enggak bisa, karena kuota yang dijalankan 2022 itu memakai patokan 2020-2021, sedangkan saat itu pandemi, pemakaian solar drop, sekarang istilahnya ekonomi menggeliat," ujarnya di kesempatan yang sama.
Terlebih, saat ini merupakan masa pemulihan ekonomi setelah dua tahun pandemi sejak 2020 silam. Sehingga pemulihan itu mesti didukung regulasi pemerintah yang tidak merugikan transporter.
"Padahal sekarang sudah ada permintaan, enggak cukup, kuotanya itu untuk angkutan umum supaya ditambah," tuturnya.
Selain itu, paguyuban pengusaha dan pengemudi truk angkutan barang mengusulkan kenaikan tarif sebesar 20 persen, yang merupakan kalkulasi dari biaya solar serta biaya pemenuhan kebutuhan pokok imbas naiknya BBM.
Mereka juga meminta pemerintah memberi patokan kenaikan pasti, agar tak terjadi persaingan sehat di kalangan penyedia jasa pengiriman barang, baik perusahaan maupun perorangan.
"Soal aturan kita mengimbau pihak pemerintah, kementerian, bisa ikut mengatur tarif patokannya ada, seperti angkutan orang, sementara ini angkutan barang bebas, akibatnya kalau bebas ya ini melenceng dari kenaikan harga," ungkapnya.
Usulan-usulan dari pengusaha dan sopir truk itu rencananya akan disampaikan Organda untuk dapat direalisasikan. (dks)
(zend)