MALANG, solotrust.com - Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Stadion Kanjuruhan menyebut Panitia Pelaksana (Panpel) laga Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang Sabtu (1/10) lalu, sudah meminta kepolisian untuk tak menggunakan gas air mata. Terlebih, gas air mata diduga menjadi salah satu penyebab jatuhnya ratusan korban jiwa usai laga.
Namun, anggota TGIPF Rhenald Kasali menyebut, alasan Panpel saat itu melarang gas air mata bukan berdasar aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulations pasal 19b. Melainkan berkaca pada kejadian serupa pada laga Persebaya vs Persib Bandung di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya 2018 silam.
"Dari investigasi kami sudah menanyakan, Panpel mengaku sudah memberi tahu. Bukan karena larangan FIFA tetapi karena kejadian 2018, pernah di Surabaya digunakan gas air mata dan itu menyakiti korban, maka tidak boleh digunakan," ungkap Rhenald melalui keterangan pers Kemenko Polhukam RI, Senin (10/10).
Dari situ, ia menduga, kurangnya koordinasi dan sosialisasi aturan FIFA dari Panpel ke kepolisian.
"Jadi besar kemungkinan tidak memahami dan kurang sosilalisasi ketentuan FIFA itu," tuturnya.
Lebih khusus, TGIPF mendalami dampak penggunaan gas air mata itu terhadap jatuhnya ratusan korban jiwa dan luka-luka.
"Itu sudah dibawa ke lab dan diperiksa, karena gas air mata itu, sekarang bukan millitary police tetapi civilion police maka polisi di tangan kanannya kitab HAM. Bukan senjata yang mematikan tetapi untuk melumpuhkan agresifitas," bebernya.
Selain itu, TGIPF akan mendalami kasus itu dari berbagai hal, seperti masalah infrastruktur stadion, penggunaan gas air mata, waktu tanding, serta berbagai standart operational procedure (SOP) lain.
Rhenald menyatakan, hasil temuan di Kanjuruhan akan menjadi patokan prosedur pelaksanaan laga-laga lain di Liga Indonesia. Ia menghawatirkan kejadian itu akan terus terulang.
"TGIPF tidak hanya fokus di kasus fisik di Kanjuruhan, kami ingin memberi rekomendasi nasional jadi bukan sekadar masalah hukum, tetapi mencari akar masalahnya agar tidak terulang. Kalau stadion dan penanganan seperti ini, korbannya pasti muncul maka perhatian TGIPF merubah peradaban sepak bola," paparnya. (dks)
(zend)