Hard News

Gelombang Panas Asia Masih Berlangsung, BMKG Minta Masyarakat Tak Panik dan Tetap Waspada

Nasional

26 April 2023 10:32 WIB

Ilustrasi (Foto: Pixabay-stux)

JAKARTA, solotrust.com - Semenjak pekan lalu hingga hari ini, hampir sebagian besar negara-negara di Asia Selatan masih terdampak gelombang panas atau heatwave. Badan Meteorologi di negara-negara Asia, seperti Bangladesh, Myanmar, India, China, Thailand, dan Laos telah melaporkan kejadian suhu panas lebih dari 40°C yang telah berlangsung beberapa hari belakangan dengan rekor-rekor baru suhu maksimum di wilayahnya.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati dalam siaran persnya, Rabu (26/04/2023), memaparkan Badan Meteorologi Cina (CMA) melaporkan lebih dari seratus stasiun cuaca di China mencatat suhu tertinggi sepanjang sejarah pengamatan instrumen untuk April ini. Di Jepang, panas yang luar biasa juga teramati dalam beberapa hari terakhir.



"Kumarkhali, kota di distrik Kusthia, Bangladesh menjadi daerah terpanas dengan suhu maksimum harian tercatat sebesar 51,20 C pada 17 April 2023. Sementara kota terpanas di Asia lainnya terjadi sebagian besarnya berada di Myanmar dan India," ungkapnya.

Di Indonesia, lanjut Dwikorita Karnawati, suhu maksimum harian tercatat mencapai 37,20C di stasiun pengamatan BMKG di Ciputat pada pekan lalu, meskipun secara umum suhu tertinggi tercatat di beberapa lokasi berada pada kisaran 340C-360C hingga saat ini.

"Suhu panas April di wilayah Asia secara klimatologis dipengaruhi gerak semu matahari, namun lonjakan panas di wilayah subkontinen Asia Selatan, kawasan Indochina dan Asia Timur pada 2023 ini termasuk paling signifikan lonjakannya," jelasnya.

Para pakar iklim menyimpulkan tren pemanasan global dan perubahan iklim terus terjadi hingga saat ini berkontribusi menjadikan gelombang panas semakin berpeluang terjadi lebih sering.

Kapan suatu kondisi dikatakan terjadi gelombang panas?

Gelombang panas, menurut Dwikorita Karnawati dapat dijelaskan melalui dua penjelasan saling melengkapi, yakni penjelasan secara karakteristik fenomena dan penjelasan secara indikator statistik suhu kejadian.

Pertama, secara karakteristik fenomena, gelombang panas umumnya terjadi pada wilayah terletak pada lintang menengah hingga lintang tinggi di belahan bumi bagian Utara maupun di belahan bumi bagian Selatan, pada wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan besar atau wilayah kontinental atau subkontinental.

Sementara wilayah Indonesia terletak di wilayah ekuator dengan kondisi geografis kepulauan dikelilingi perairan luas.

"Gelombang panas biasanya terjadi berkaitan dengan berkembangnya pola cuaca sistem tekanan atmosfer tinggi di suatu area dengan luasan besar secara persisten dalam beberapa hari, berkaitan dengan aktivitas gelombang Rossby di troposfer bagian atas," terang Dwikorita Karnawati.

Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, pergerakan udara dari atmosfer bagian atas menekan udara permukaan (subsidensi) sehingga termampatkan dan suhu permukaan meningkat karena umpan balik positif antara massa daratan dan atmosfer.

Pusat tekanan atmosfer tinggi ini menyulitkan aliran udara dari daerah lain mengalilr masuk ke area tersebut. Semakin lama sistem tekanan tinggi ini berkembang di suatu area karena umpan balik positif antara daratan dan atmosfer, semakin meningkat panas di area tersebut, dan semakin sulit awan tumbuh di wilayah tersebut.

Kedua, menurut Dwikorita Karnawati, secara indikator statistik suhu kejadian, "Heat Wave" atau gelombang panas dalam ilmu cuaca dan iklim didefinisikan sebagai periode cuaca dengan kenaikan suhu panas tak biasa yang berlangsung setidaknya lima hari berturut-turut atau lebih (sesuai batasan Badan Meteorologi Dunia atau WMO).

"Selain itu untuk fenomena cuaca termasuk sebagai kategori gelombang panas, suatu lokasi harus mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik, misalnya 50C lebih panas dari rata-rata klimatologis suhu maksimum," sambungnya.

Apabila suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rata-ratanya dan tidak berlangsung lama tidak dikategorikan sebagai gelombang panas.

Lebih jauh Dwikorita Karnawati membeberkan, suhu panas di Indonesia bukan gelombang panas dan suhu maksimum harian sudah mulai turun. Fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan, jika ditinjau secara lebih mendalam dengan dua penjelasan di atas secara karakteristik fenomena maupun secara indikator statistik pengamatan suhu, tidak termasuk ke dalam kategori gelombang panas karena tidak memenuhi kondisi-kondisi tersebut.

"Secara karakteristik fenomena, suhu panas terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus biasa dan terjadi setiap tahun, sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode sama setiap tahunnya," tambahnya.

Sementara secara indikator statistik suhu kejadian, lonjakan suhu maksimum mencapai 37,2°C melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pada pekan lalu hanya terjadi satu hari, tepatnya pada 17 April 2023. Suhu tinggi tersebut sudah turun dan kini suhu maksimum teramati berada dalam kisaran 34°C hingga 36°C di beberapa lokasi.

Variasi suhu maksimum 34°C-36°C untuk wilayah Indonesia masih dalam kisaran normal klimatologi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Secara klimatologis, dalam hal ini untuk Jakarta, April-Mei-Juni adalah bulan-bulan di mana suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober-November.

Keterkaitan gelombang panas dan radiasi ultraviolet.

Belakangan pada berbagai media, informasi kondisi suhu udara panas juga dikaitkan dengan fluktuasi radiasi ultraviolet (UV) dari sinar matahari. Besar kecilnya radiasi UV mencapai permukaan bumi memiliki indikator nilai indeks UV.

Dwikorita Karnawati menjelaskan, indeks ini dibagi menjadi beberapa kategori, yakni 0-2 (Low), 3-5 (Moderate), 6-7 (High), 8-10 (Very high), dan 11 ke atas (Extreme). Secara umum, pola harian indeks ultraviolet berada pada kategori “Low” di pagi hari; mencapai puncaknya di kategori “High”, “Very high”, sampai dengan “Extreme” ketika intensitas radiasi matahari paling tinggi di siang hari antara pukul 12:00 hingga 15:00 waktu setempat; dan bergerak turun kembali ke kategori “Low” di sore hari.

"Pola ini bergantung pada lokasi geografis dan elevasi suatu tempat, posisi matahari, jenis permukaan, dan tutupan awan," imbuhnya.

Tinggi rendahnya indeks UV tidak memberikan pengaruh langsung pada kondisi suhu udara di suatu wilayah. Adapun untuk wilayah tropis seperti Indonesia, pola harian seperti disampaikan di atas secara rutin dapat teramati dari hari ke hari, meskipun tidak ada fenomena gelombang panas.

Faktor cuaca lainnya seperti berkurangnya tutupan awan dan kelembapan udara dapat memberikan kontribusi lebih terhadap nilai indeks UV. Sementara untuk lokasi dengan kondisi umum, cuacanya diprakirakan cerah-berawan pada pagi sampai siang hari dapat berpotensi menyebabkan indeks UV pada kategori “Very high” dan “Extreme” di siang hari.

Dwikorita Karnawati meminta masyarakat agar tidak perlu panik menyikapi informasi UV harian tersebut, serta mengikuti dan melaksanakan imbauan respons bersesuaian yang dapat dilakukan untuk masing- masing kategori index UV, seperti menggunakan perangkat pelindung atau tabir surya apabila melakukan aktivitas di luar ruangan.

(and_)