JAKARTA, Solotrust.com - Penerimaan CPNS (calon pegawai negeri sipil) 2017 di lingkungan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mulai dibuka serentak pada 11 September untuk 1.000 formasi. Tapi salah satu syarat yang tertera di laman resminya dinilai diskriminatif.
Adapun salah satu syaratnya disebutkan, “tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender)”.
Terkait dengan hal itu, Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) menyesalkan informasi tersebut. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron menegaskan, pernyataan dalam persyaratan ini sangat disesalkan karena dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III tahun 1993 sendiri sudah jelas disebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) sebagai panduan penggolongan gangguan jiwa internasional pada tahun 1987 juga sudah menyebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa.
“Oleh karena itu penggunaan kata kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender) sepatutnya tidak digunakan oleh lembaga negara apapun termasuk Kejaksaan Agung RI,” tutur Muhammad Nurkhoiron di Jakarta, Selasa (12/9/2017) kemarin.
Menurut Nurkhoiron, Komnas HAM juga menyesalkan adanya persyaratan tersebut karena tidak sesuai dengan konstitusi, undang-udang dan prinsip non diskriminasi dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28D negara menjamin setiap orang untuk dapat bekerja, tanpa adanya pembatasan karena orientasi seksual dan identitas jendernya.
Lebih lanjut Nurkhoiron menambahkan, pasal 38 Undang-undang No. 39 tahun 1999 kembali menegaskan bahwa sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuannya setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak atas syarat ketenagakerjaan yang adil. Syarat yang ditetapkan Kejaksaan Agung RI merupakan wujud ketidakadilan bagi minoritas orientasi seksual dan identitas jender.
“Dalam pasal 6 Kovenan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang No. 11 tahun 2005 disebutkan negara mengakui hak atas pekerjaan dan negara wajib mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak ini. Adanya pembatasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas jender mengindikasikan adanya pelanggaran yang dilakukan negara untuk menjamin hak atas pekerjaan,” terang Nurkhoiron.
Dalam UU No. 5 tahun 2014 juga menegaskan bahwa aparatur sipil negara adalah profesi yang berlandaskan komitmen, kompetensi, integritas, dan profesionalitas jabatan. Berdasarakan prinsip ini maka seharusnya setiap warga negara, termasuk minoritas orientasi seksual dan identitas jender yang memenuhi prinsip tersebut dan lolos seleksi dapat menjadi ASN.
Undang-undang No. 21 tahun 1999 juga menegaskan untuk tidak adanya diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Prinsip Yogyakarta tentang standar HAM internasional terhadap orientasi seksual dan identitas jender mewajibkan negara melindungi hak-hak minoritas orientasi seksual dan identitas jender, dan mengambil langkah-langkah strategis untuk pemenuhan haknya. Oleh karena itu pembatasan kesempatan kerja karena orientasi seksual tidak seharusnya dilakukan oleh institusi negara.
Berikut ini pernyataan lengkapnya sebagaimana rilis elektronik bernomor 032/Humas-KH/IX/2017 yang didapatkan Solotrust.com :
Sikap Komnas HAM atas Tindak Diskriminasi Minoritas Orientasi Seksual dan Identitas Jender pada Pengumuman Rekrutmen CPNS Kejaksaan Agung Republik Indonesia
Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah Lembaga Negara Independen yang bertujuan untuk membangun kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Komnas HAM memiliki mandat dalam pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Pada tahun 2012, Komnas HAM membentuk mekanisme “Pelapor Khusus Hak-hak Minoritas”, dimana salah ruang lingkupnya adalah minoritasorientasi seksual dan identitas jender. Pelapor Khusus ini diberi kewenangan untuk melakukan penilaian atas situasi HAM kelompok minoritas dan membuat rekomendasi kepada Pemerintah agar melakukan perubahan kebijakan untuk memenuhi hak-hak kelompok minoritas, termasuk minoritas orientasi seksual dan identitas jender.
Komnas HAM menerima informasidari halaman website resmi Kejaksaan Agung Republik Indonesia perihal persyaratan “tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender)” bagi yang melamar menjadi calon pegawai negeri di institusi Kejaksaan Agung RI. Komnas HAM menyesalkan pernyataan dalam persyaratan ini karena dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) IIItahun 1993 sendiri sudah jelas disebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah ganguan. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders(DSM)sebagai panduan penggolongan gangguan jiwa internasional pada tahun 1987 juga sudah menyebutkan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa. Oleh karena itu penggunaan kata “kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender)” sepatutnya tidak digunakan oleh lembaga negara apapun termasuk Kejaksaan Agung RI.
Komnas HAM juga menyesalkan adanya persaratan tersebut karena tidak sesuai dengan konstitusi, undang-udang dan prisnip non diskriminasi sebagai berikut:
1. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28D negara menjamin setiap orang untuk dapat bekerja, tanpa adanya pembatasan karena orientasi seksual dan identitas jendernya.
2. Pasal 38 Undang-undang No. 39 tahun 1999 kembali menegaskan bahwa sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuannya setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak atas syarat ketenagakerjaan yang adil. Syarat yang ditetapkan Kejaksaan Agung RI merupakan wujud ketidakadilan bagi minoritas orientasi seksual dan identitas jender.
3. Dalam pasal 6 Kovenan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang No. 11 tahun 2005 disebutkan negara mengakui hak atas pekerjaan dan negara wajib mengambil langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak ini. Adanya pembatasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas jender mengindikasikan adanya pelanggaran yang dilakukan negara untuk menjamin hak atas pekerjaan.
4. Dalam UU No.5 tahun 2014 juga menegaskan bahwa aparatur sipil negara (ASN) adalah profesi yang berlandaskan komitmen, kompentensi, integritas dan profesionalitas jabatan. Berdasarankan prinsip ini maka seharusnya setiap warga negara, termasuk minoritas orientasi seksual dan identitas jender yang memenuhi prinsip tersebut dan lolos seleksi dapat menjadi ASN.
5. Undang-undang No.21 tahun 1999 juga menegaskan untuk tidak adanya diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.
6. Prinsip Yogyakarta tentang standar HAM internasional terhadap orientasi seksual dan identitas jender mewajibkan negara melindungi hak-hak minoritas orientasi seksual dan identitas jender dan mngambil langkah-langkah strategis untuk pemenuhan haknya. Oleh karena itu pembatasan kesempatan kerja karena orientasi seksual tidak seharusnya dilakukan oleh institusi negara.
Oleh sebab itu, Komnas HAM meminta seluruh kementerian dan lembaga, khususnya Kejaksaan Agung Republik Indonesia, tidak melakukan diskriminasi terhadap minoritas orientasi seksual dan identitas jender dalam proses rekrutmennya.
Demikian keterangan pers ini dibuat dalam rangka mendorong upaya bersama menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Jakarta, 12 September 2017
Wakil Ketua Eksternal,
Ttd.
Muhammad Nurkhoiron
CP: Eva Nila Sari (Humas Komnas HAM - 081296166200)
(Redaksi Solotrust)