Solotrust.com – Beberapa waktu ke belakang jagat maya dihebohkan rekaman amatir diduga sebagai aksi perundungan anak SMP di salah satu daerah. Bukan hanya itu, beberapa kasus perundungan atau tindak bully, terkhusus di ruang pendidikan menjadi semakin marak terjadi.
Hal ini bukan hanya terjadi antara peserta didik ke temannya, namun juga peserta didik ke pengajar atau sebaliknya. Tentu ini sangat miris, mengingat banyaknya campaign ‘say no to bully,’ namun tidak memiliki efek signifikan pada kasus yang terjadi.
Lingkup pendidikan sudah seharusnya membentuk ruang aman bagi semua peserta didik. Adanya penekanan terhadap pengaplikasian nilai-nilai akhlak dan norma masyarakat tentu menjadi satu hal yang memantik bagaimana tindak seperti ini dapat dicegah. Namun, pertanyaannya adalah mengapa ini masih bisa terjadi, bahkan semakin sering didengar kasus bully di ruang akademik.
Sebut saja kasus FF (14) salah satu siswa SMP di Cimanggu, Kabupaten Cilacap yang menjadi korban perundungan ‘brutal’ rekan-rekannya. Kasus ini memang masih terbilang hangat dan dalam proses penyelidikan.
FF yang menjadi korban saat ini juga masih menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Majenang yang kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto. Pelaku perundungan juga sudah dalam pengamanan pihak kepolisian.
Kasus lain juga masih hangat dibicarakan adalah seorang bocah SD di Cikole diduga mengalami perundungan (bullying) dua orang temannya. Kasus ini terbongkar setelah tujuh bulan saat peristiwa itu terjadi.
Orangtua korban DS (45) juga sempat menuturkan kasus ini sebenarnya sudah diketahui pihak sekolah, namun sengaja ditutup-tutupi. Hal tersebut tidak terbukti secara data karena minimnya barang bukti yang dimiliki.
Ayah korban juga sempat membeberkan sang anak sempat mengalami ketakutan untuk menceritakan kejadian tersebut. Kabar terbaru, kasus tersebut berakhir damai.
Sebenarnya masih banyak kasus perundungan atau pembullyan terjadi di lingkungan akademik secara khusus. Lambatnya penanganan dan ketidaktahuan informasi menjadi salah satu alasan acapkali dilontarkan pihak sekolah.
Belum lagi dengan usaha mendamaikan antara korban dan pelaku tanpa memberi efek jera sang pelaku membuat kasus bully di lingkungan pendidikan Indonesia kian meningkat. Lagi, bukan permasalahan kurangnya moral yang diberikan, namun lingkup pengawasan dan kurangnya ketegasan aturan dari tiap instansi yang secara khusus mengatur kasus seperti ini.
Berlindung dari kata-kata ‘mereka masih di bawah umur, masa depan masih panjang’ agaknya menjadi alasan sering kali kasus perundungan berakhir damai. Miris dan sangat disayangkan sekelas sekolah dan ruang pendidikan dirasa aman bagi anak didiknya ternyata menimbulkan rasa traumatik dan tidak aman.
Terlebih lagi adanya beberapa sekolah di Indonesia lebih mementingkan ‘nama baik dan reputasi’ sekolah daripada penegakan sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradap”. Tentu nilai tersebut sudah mulai memudar dengan sistem pendidikan bobrok seperti ini.
Sebenarnya peran ruang pendidikan (sekolah) di Indonesia itu seperti apa? Apakah hanya sekadar mengajari kerapian dengan memotong rambut panjang atau mengatur gaya berpakaian anak didik selama di sekolah?
Memangnya rambut panjang itu berpengaruh dengan watak atau sifat seseorang? Sistem pendidikan di Indonesia saat ini diterapkan bukan hanya menjadi satu pertanyaan besar, namun harus menjadi catatan besar bagi pemerintah dan instansi pendidikan dalam melihat regulasi yang dibuat sudah tepat sasaran atau malah membebankan. Bagaimana tidak, ruang aman itu tidak lagi kita dapatkan di sekolah kalau masih ada campur tangan sekolah dalam menutupi atau berusaha menghilangkan jejak dari kasus seperti ini.
*) Penulis: Alan Dwi Arianto
()