SEMARANG, solotrust.com - Stigma dan diskriminasi terhadap kaum waria masih menghantui masyarakat, termasuk di Semarang. Wawancara langsung dengan salah satu waria membuka wawasan mengenai pengalaman pribadi dan perjuangan komunitas mereka dalam menghadapi sikap negatif yang terkadang mendukung norma-norma sosial konservatif.
Pengalaman dan Tantangan Pribadi
Kenyataannya tidak selalu berjalan melulu, banyak lika-liku tantangan dialami para waria. Ketua Perwaris Semarang, Silvy Mutiari, menceritakan pengalaman pribadinya ditolak mendapatkan rumah sewa (kos) karena adanya keberatan dari beberapa tetangga.
Saat itu, ia merasakan tekanan dan berusaha untuk membuat tetangga sekitar merasa lebih nyaman dengan berpenampilan tidak terlalu menyolok dan tidak mengganggu ketenteraman di sekitarnya.
Ia pun akhirnya terpaksa pindah kos karena merasa tidak nyaman dengan sikap diskriminatif di lingkungan sekitar. Pengalaman ini juga mencakup insiden fisik di jalan di mana orang tak dikenal memukuli mereka tanpa alasan atau melakukan catcalling.
Kendati sempat dianggap sebagai sebuah lelucon, namun tetap meninggalkan dampak psikologis dan menunjukkan tantangan nyata yang dihadapi komunitas waria.
Tanggapan terhadap Media
Media berperan penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap komunitas waria. Silvy Mutiari menyebutkan, media sosial dan pemberitaan mencoreng dapat memperburuk stigma.
Oleh karena itu, komunitas waria secara aktif berusaha mengubah pandangan ini dengan menghubungi jurnalis dan media, membuka diskusi, dan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang kehidupan mereka.
Terkadang, media juga bisa membuat berita tidak sesuai dengan fakta, membuat judul menarik, namun lebih dominan dengan sensasi sehingga dapat menyinggung pihak waria.
Upaya dan Inisatif Masyarakat untuk Menunjang Stigma dan Diskriminasi terhadap Waria
Secara tidak langsung, masyarakat mengajak kelompok yang mengalami stigma dan diskriminasi melalui beberapa acara. Silvy Mutiari menceritakan pernah diajak masyarakat untuk ikut serta berbagai acara expo, seperti meramaikan hari HIV/AIDS yang juga terdapat berbagai kelompok, baik penyandang disabilitas, HIV, dan lain-lain.
Kelompok yang terkena diskriminasi bisa melakukan banyak hal positif di masyarakat. Tak hanya itu, Linmas juga mengajak dan ikut meramaikan acara post expo. Acara ini juga dapat memperkenalkan kelompok waria ke berbagai kelompok apa pun (budaya, suku, agama, dan lainnya).
Sementara itu, dari pihak pemerintahan terdapat instansi kesehatan maupun sosial yang merangkul kelompok mereka ikut serta dalam berdiskusi sesuai harapan dan keluh kesah dibutuhkan dari pemerintahan untuk komunitas mereka.
Dampak serta Langkah-langkah dari Stigma dan Diskriminasi terhadap Kesehatan Mental Waria
Kesehatan mental adalah kunci permasalahan utama terhadap perbuatan di berbagai aspek. “Kesehatan mental ini terjadi dari berbagai aspek, baik keluarga, saudara,maupun kelompok lain yang mereka tidak diterima atas perubahan menjadi waria," kata Silvy Mutiari.
"Apabila tidak menyukai perubahan hal ini jangan melakukan hal yang kasar dengan perbuatan verbal maupun nonverbal. Sebagai waria kita harus memikirkan cara mengubah pandangan baik keluarga, saudara maupun kelompok lain agar dapat diterima,” sambungnya.
Perkembangan Hukum dan Kebijakan untuk Mendukung maupun Melindung Hak-Hak Waria dari Perbuatan Stigma dan Diskriminasi
Hukum dan kebijakan terhadap waria masih kurang dipaparkan bagi kelompok minoritas. Para waria masih mengadopsi undang-undang (UU) yang berlaku di Indonesia dan tidak ada UU khusus perihal kelompok minoritas atau termarjinalkan.
Kelompok waria juga tidak menginginkan UU khusus untuk mereka karena tidak ingin merasa eksklusif dan semua masyarakat sama saja di hadapan hukum serta kebijakan yang telah ditetapkan.
Pesan dan Harapan untuk Mengurai Stigma maupun Diskriminasi oleh Masyarakat terhadap Waria
“Jika ingin diterima di masyarakat, setiap waria harus bisa membawa diri. Saat berada di ruang publik berpenampilan sebagai orang yang ingin dihargai, berpakaian sopan dan sewajarnya. Ketika kami bisa dihargai oleh masyarakat, kami akan lebih menghargai masyarakat itu sendiri. Kalau pun masyarakat belum mampu menerima identitas berbeda, terima kami seperti masyarakat yang telah ada,” ujar Silvy Mutiari.
Setiap orang berhak untuk memiliki kebebasan di dalam hidupnya karena masing-masing pribadi memiliki hak sama. Semua orang berhak memiliki hak sama, baik hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya, khususnya untuk kaum termarjinalkan. Semestinya paradigma masyarakat harus diubah untuk merangkul keberagaman dan menghilangkan stigma serta diskriminasi terhadap kaum waria. (Stefanus Julian)
(and_)