SEMARANG, solotrust.com - Waria atau wanita pria istilah digunakan untuk menyebut identitas gender yang biasanya menjadi bagian komunitas LGBTQ dan sering mendapatkan diskriminasi tinggi. Banyak masyarakat kerap memandang para waria sebelah mata sehingga memunculkan diskriminasi dan stereotip.
Stereotip dan Diskriminasi
Pada dasarnya seseorang tidak akan bisa memilih ingin terlahir seperti apa, begitu pula dengan Silvy Mutiari yang pernah mengalami stereotip dan diskriminasi sebagai seorang waria. Silvy Mutiari merupakan seorang waria, sekaligus pendiri Persatuan Waria Semarang (Perwaris). Ia juga berprofesi sebagai master of ceremony (MC), penyanyi, dan perias.
“Beberapa teman Perwaris pernah mengalami kejadian tak mengenakkan, seperti ditangkap oleh Satpol PP, tetapi malah mendapatkan kekerasan dari Satpol PP, dan diteriaki atau mengalami catcalling oleh masyarakat," ungkap Silvy Mutiari di Sekretariat Perwaris, Kamis (28/12/2023).
"Kami lebih banyak bekerja pada sektor nonformal, sebenarnya bukan pilihan utama karena kami diarahkan dengan keadaan. Misalnya, teman-teman waria tidak bisa mengekspresikan dirinya semasa di lingkungan sekolah, banyak bully, persekusi, kekerasan verbal dan nonverbal terjadi semasa sekolah,” sambungnya.
Profesi dan Talenta
Tak hanya sisi negatif, sisi positif juga perlu ditonjolkan dan dilihat dari seorang waria. Silvy Mutiari berprofesi sebagai MC hampir 20 tahun.
Profesi MC dan penyanyi dimulai sejak 2006. Bermula dari hobi nyanyi dan penari latar yang mengiringi penyanyi, ia pun mulai belajar tentang cara berbicara, menyanyi yang baik, dan menghadapi audiens.
Menurut Silvy Mutiari, masyarakat tertarik menggunakan jasanya sebagai MC karena banyak orang masih menganggap waria itu lucu, blak-blakan, dan sangat menarik. Bahkan, hal itu juga mereka manfaatkan untuk menarik pelanggan.
Kendati demikian, tak semua waria mampu dalam bidang entertainment, yang berarti tidak semua waria bisa menjadi seorang penghibur. Oleh karena itu, setiap waria harus mampu menempatkan diri agar masyarakat bisa memandang atau membedakan antara waria entertainment dan waria biasa.
“Waria bisa melucu, tapi bukan berarti harus," kata Silvy Mutiari.
Sebagai MC, persiapan Silvy Mutiari sama seperti pembawa acara umumnya. Seperti belajar memilih bahasa sesuai dengan audiens dan tema acara.
Jadi jika acara formal bisa memposisikan diri melalui bahasa, pakaian, dan gerak tubuh. Kuncinya, harus bisa membedakan antara kegiatan formal dan informal. Nominal biaya menjadi MC memang tidak bisa dipastikan, ada yang memberikan Rp100 ribu hingga Rp500 ribu, bahkan sampai Rp4 juta.
Mengajar Mengaji
Salah satu keunikan Silvy Mutiari selain menjadi MC, penyanyi, dan perias, ia juga berprofesi sebagai guru mengaji di sela kesibukannya. Sejak pandemi Covid-19 menyebabkan pembatasan pergerakan di luar ruangan dan penutupan tempat ibadah seperti masjid, mengingat anak-anak harus terus belajar mengaji, muncullah ajakan untuk menjadi guru mengaji.
Alasan Silvy Mutiari menerima tawaran tersebut karena situasi saat itu juga memaksanya untuk tinggal di rumah, sehingga ia mulai mengajar mengaji kepada anak-anak tetangga untuk mengisi kesibukannya. Berawal dari dua orang anak dan adanya pengajian dengan ibu-ibu setiap sore hari, kegiatan mengajar ngaji masih dilakukan hingga kini.
Saat ini ada tiga orang anak menjadi murid tetap Silvy Mutiari dalam belajar Alquran sepanjang tahun, dan orang dewasa terkadang belajar secara online. Khusus untuk anak-anak, kegiatan belajar mengaji dilaksanakan setiap hari pukul 17.00 WIB, namun tetap disesuaikan waktu.
Sejak kecil, orangtuanya sudah mengajari Silvy Mutiari untuk rajin pergi ke masjid, mengaji, dan membaca serta menulis Alquran. Bahkan, warga sekitar tempat tinggalnya juga sudah tahu bagaimana dirinya dari kecil. Sementara itu, biaya mengajar Alquran tidak menjadi masalah baginya karena ia menerimanya secara sukarela.
Kesetaraan Hak Asasi Manusia
Setiap orang tidak bisa memilih bagaimana ia dilahirkan, sedangkan mereka yang memilih menjadi waria bukan karena keinginannya. Masyarakat sendirilah yang membentuk siapa mereka, membuat mereka menjadi jenis manusia lain yang dianggap berbeda.
Berdasarkan peristiwa dialami waria dalam kesehariannya dan dari pengalaman Silvy Mutiari serta anggota Perwaris, hal itu memiliki keterkaitan dengan kesetaraan hak asasi manusia (HAM).
Dalam hak sipil, waria berhak mendapatkan hak atas kebebasan dan keamanan pribadi dan hak atas kebebasan bergerak serta berpindah agar mereka bebas berekpresi dan merasa aman berada di lingkungan masyarakat.
Pada hakikatnya mereka tetaplah manusia yang memiliki hati, kemampuan, dan keinginan untuk bertahan hidup. Mereka dipandang buruk masyarakat, tidak diduga memiliki sisi baik yang tak dimiliki orang-orang yang dikatakan normal.
Mereka sadar akan jati dirinya dan terus berjuang untuk memposisikan diri di masyarakat, namun hingga saat ini masih mendapat persepsi buruk, bahkan kekerasan.
Mari kita lihat lebih dekat dan mengenal seseorang lebih baik sebelum memberi pendapat buruk. Semoga kisah inspiratif ini menyadarkan kita akan pentingnya sebuah kehidupan dan lebih menghargai sesama manusia tidak berdasarkan gender. (Stefanus Julian)
(and_)