Serba serbi

Sinergi AKKOPSI dan HAKLI dalam Semangat Merah Putih Hijau

Serba serbi

02 September 2025 12:57 WIB

Arif Sumantri, Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta/Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)

Solotrust.com - Momentum City Sanitation Summit di Ternate pada 29–30 Agustus 2025 telah membangkitkan kesadaran kolektif bahwa sanitasi berkelanjutan tidak bisa lagi ditunda. Para bupati dan wali kota, melalui komitmen yang mereka nyatakan, telah menyalakan lilin harapan. Tantangannya kini adalah memastikan agar lilin itu tidak padam, melainkan tumbuh menjadi cahaya terang yang menyinari setiap kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Sinergi antara AKKOPSI (Aliansi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi) dan HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) bagaikan dua pilar yang menopang rumah besar sanitasi nasional. Sementara itu, koperasi desa dan perkotaan seperti Merah Putih serta SPPG (Satuan Pelayanan Pangan dan Gizi) menjadi penguat dari hulu, membawa semangat rakyat agar pembangunan berkelanjutan tidak kehilangan integritasnya.



Ketika sampah dikelola dengan bijak, ketika partisipasi masyarakat tumbuh subur, dan ketika ilmu pengetahuan terintegrasi ke dalam kebijakan, sesungguhnya kita sedang menulis babak baru pembangunan Indonesia—sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo yang diteruskan Presiden Prabowo Subianto: membangun bangsa yang sehat, berdaulat dalam ketahanan pangan, dan bermartabat di mata dunia.

Lebih penting lagi, sinergi ini menjadi fondasi untuk menjawab isu mendesak: sanitasi aman, ketahanan pangan, dan kecukupan gizi. Tidak berlebihan jika hal ini disebut sebagai mata rantai kesehatan nasional, karena sanitasi yang buruk langsung berdampak pada kualitas pangan, ketahanan gizi, bahkan produktivitas generasi muda.

Pertanyaan mendasar pun muncul: siapa yang memastikan komitmen ini tetap hidup di masyarakat? Jawabannya: partisipasi semua pemangku kepentingan. Rakyat harus menjadi subjek—bukan sekadar objek—pembangunan. Melalui koperasi Merah Putih dan SPPG, kita melihat model nyata keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah, daur ulang, serta transformasi sampah menjadi sumber daya baru dalam ekonomi sirkular.

Sebagaimana diamanatkan Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, tindak lanjut komitmen City Sanitation Summit (CSS) diarahkan pada target nasional: pengurangan timbulan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah 70% pada 2025. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, Indonesia menghasilkan sekitar 68 juta ton sampah per tahun pada 2023, dengan lebih dari 37% masih berakhir di TPA tanpa pengolahan—memperberat beban lingkungan. Fakta ini menegaskan bahwa komitmen para bupati dan wali kota di Ternate bukan sekadar seremoni, melainkan jawaban mendesak atas kebutuhan solusi sanitasi dan pengelolaan sampah.

Dengan skala 68 juta ton sampah per tahun, Indonesia tidak punya pilihan selain beralih pada pengelolaan sampah terintegrasi berbasis ekonomi sirkular. Bukti menunjukkan bahwa bila dikelola dengan baik, sampah bisa menjadi sumber energi, pangan, dan kesejahteraan. Sampah juga cermin ketidakadilan lingkungan: daerah miskin sering menjadi “tempat pembuangan” kota besar. Studi Bank Dunia tahun 2021 menemukan 40% sampah plastik Asia Tenggara berakhir di perairan terbuka, dengan Indonesia sebagai penyumbang terbesar kedua setelah Tiongkok. Data Bappenas juga menunjukkan biaya kesehatan akibat pencemaran lingkungan mencapai 1,2% dari PDB per tahun, terutama dari ISPA, diare, dan keracunan logam berat.

Krisis sampah bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga tantangan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Setiap kantong plastik sekali pakai yang dibuang sembarangan adalah bom waktu, kembali kepada kita melalui air, udara, atau makanan laut yang tercemar mikroplastik.

Potensi Sampah Organik: Sekitar 60–65% sampah nasional adalah organik, terutama dari rumah tangga dan pasar tradisional. Jika diolah menjadi kompos, dapat menghasilkan hingga 20 juta ton pupuk organik per tahun—cukup untuk mendukung pertanian berkelanjutan dan program ketahanan pangan Presiden.

Potensi Sampah Plastik: Sekitar 16–17% dari total sampah adalah plastik. Indonesia menghasilkan ±7,8 juta ton sampah plastik per tahun, dengan 3,2 juta ton berpotensi mencemari laut bila tidak dikelola. Melalui bank sampah berbasis koperasi, nilai ekonomi plastik daur ulang diperkirakan mencapai Rp15–20 triliun per tahun.

Prinsip utama ekonomi sirkular adalah partisipasi. Warga tidak boleh hanya menjadi konsumen kebijakan, tetapi juga agen perubahan. Di sinilah koperasi Merah Putih memainkan peran penting: mengorganisir masyarakat untuk memilah dan mengolah sampah, menjadi lembaga ekonomi rakyat yang menyalurkan bahan daur ulang ke pasar, serta memperkuat solidaritas sosial melalui semangat gotong royong.

Manfaat sosial-ekonomi: Studi lapangan di beberapa kota menunjukkan koperasi pengelola sampah dapat menambah pendapatan rumah tangga Rp300.000–Rp500.000 per bulan. Koperasi menjadi tulang punggung ekonomi sirkular: menghubungkan rumah tangga dengan industri daur ulang sekaligus memperkuat modal sosial masyarakat.

Sementara itu, SPPG menegaskan keterkaitan erat antara sanitasi dan gizi. Sampah organik yang diolah menjadi kompos bisa digunakan untuk pertanian kota, menumbuhkan sayuran sehat, dan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Inisiatif urban farming berbasis kompos lewat SPPG terbukti menambah pasokan sayuran lokal 10–15 kg per rumah tangga per bulan. Kontribusi ini mendukung langsung program percepatan penurunan stunting yang menargetkan prevalensi 14% pada 2024.

Meski begitu, jalan menuju ekonomi sirkular tidak tanpa hambatan. Tantangan utama meliputi: regulasi sektoral yang terfragmentasi dan butuh harmonisasi; pendanaan, karena pengelolaan sampah masih dianggap pusat biaya, bukan pusat keuntungan; serta perilaku masyarakat, yang masih melihat sampah sebagai tanggung jawab pemerintah semata.

Mengatasi tantangan ini membutuhkan strategi lintas sektor: pemerintah sebagai regulator; HAKLI sebagai pengawal profesional sanitasi lingkungan untuk advokasi dan pengawasan SPPG serta pengelola sampah berbasis masyarakat; AKKOPSI sebagai penggerak kebijakan di daerah; dan masyarakat sebagai aktor utama. Sinergi ini akan mempercepat perubahan paradigma dari “buang” menjadi “olah dan gunakan kembali.”

Komitmen para kepala daerah yang dipatri di Ternate kini menjadi cahaya kecil yang menyebar ke seluruh nusantara. Setiap kabupaten/kota yang melangkah maju sedang menulis bab baru pembangunan Indonesia—bab tentang kemandirian, kesadaran, dan cinta bumi.

Sanitasi berkelanjutan tidak boleh dipahami sekadar sebagai “membersihkan lingkungan,” tetapi ditempatkan dalam bingkai ekonomi sirkular. Bersama AKKOPSI, HAKLI, koperasi Merah Putih, dan SPPG, Indonesia sedang menenun masa depan yang bersih, sehat, dan adil—sebuah simfoni sanitasi berkelanjutan yang digerakkan oleh cinta bangsa dan kemanusiaan. Karena sanitasi bukan sekadar soal kebersihan; ia adalah cermin peradaban, fondasi ketahanan, dan nadi kehidupan sebuah bangsa yang bercita-cita menuju Indonesia Sehat dan Generasi Emas.

*) Oleh: Arif Sumantri. Penulis adalah Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta/Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)

(and_)