SOLO, solotrust.com- Ada banyak hal menarik dalam Festival Sastra 2018 yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KEMASINDO) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Minggu (29/4/2018).
Selain lomba cipta puisi dan cerpen, acara ini juga turut menghadirkan beberapa sastrawan kondang sebagai pembicara dalam Seminar Nasional yang bertajuk "Rasa Juang Rasa Persatuan".
Dalam kesempatan tersebut, Penulis Buku "Tuhan Tidak Makan Ikan" Gunawan Tri Atmodjo mengatakan, sastra bisa menjadi sebagai sarana untuk menjaga toleransi di Indonesia.
"Sastra bisa dimaknai dengan berbagai hal atau multi tafsir. Jika bisa memahami sastra yang punya banyak makna, kita juga bisa menghargai perbedaan pendapat seperti kita menikmati sastra," kata Gunawan.
Pernyataan itu menarik, karena belakangan ini masyarakat Indonesia kian sensitif terhadap isu perbedaan. Sastrawan Joko Pinurbo yang turut hadir sebagai pembicara juga setuju dengan pernyataan tersebut.
"Kita sekarang ini kalau diperhatikan, sebetulnya sudah masuk dalam suasana perang saudara. Tak lagi perang fisik, tapi perang kata-kata," kata dia.
Bahasa Indonesia yang dulunya menjadi bahasa pemersatu, kini berubah menjadi pisau tajam yang siap memecah belah persatuan. Maka di sinilah, peran penting para sastrawan untuk mengembalikan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa perdamaian.
Namun masalahnya, karya sastra yang lebih banyak beredar saat ini yaitu tentang kesedihan yang termehek-mehek. Jika hal itu terus dibiarkan, maka masyarakat Indonesia bisa jadi makin tidak memiliki semangat berjuang.
Oleh karena itu, Joko menyarankan kepada peserta seminar untuk meneladani sikap sastrawan zaman dulu. Kata dia, sastrawan tenar seperti W.S Rendra, Chairil Anwar, Wiji Tukul menyuarakan rasa persatuan dan toleransi dalam karya-karyanya.
"Chairil Anwar itu penyair muslim. Tapi kalian tahu siapa yang menulis puisi tentang Isa Almasih yang paling bagus? Chairil Anwar. Sitor Situmorang yang Kristen menulis puisi berjudul 'Malam Lebaran'. Menurut saya, itu puisi tentang lebaran yang paling bagus. Mereka bisa lebih dewasa dalam penghayatan keagamaan," jelasnya.
Pemaparan materi dari kedua sastrawan Indonesia itu pun sukses menarik perhatian 200 peserta yang memenuhi Aula Gedung F FKIP UNS pagi ini. Aji selaku Ketua Panitia Festival Sastra 2018 mengaku memang sengaja mengambil tema "Rasa Juang Rasa Persatuan" lantaran relevan dengan kondisi saat ini.
"Ketika kita membahas agama sedikit yang tidak sependapat, langsung ada konflik. Nah, kita menekankan bahwa kita masih satu Indonesia dan menekankan pada rasa toleransinya," ujarnya. (mia)
(wd)