Pend & Budaya

Upaya Menghapus Imej Negatif dari Penari Lintas Gender

Budaya

10 Juni 2018 19:15 WIB

Pertunjukan tari yang digelar di Pendhapa Sasana Krida Mangkubumen, Sabtu (9/6/2018) malam. (solotrust-mia)

SOLO, solotrust.com - Sasana Krida Mangkubumen tiba-tiba disesaki oleh puluhan pengunjung yang penasaran dengan aksi sejumlah para penari dalam pementasan seni tari yang bertajuk "Kamuflase dalam Seni Tradisi". Diiringi musik tradisional, penari meliuk-liukan tangan dan pinggulnya dengan gemulai.

Ditambah riasan wajah dan gelungan rambut yang khas, mereka tampak anggun dan cantik bak seorang Putri Keraton. Namun siapa yang sangka jika di balik kecantikan dan keanggunan itu, mereka ternyata adalah penari laki-laki.



Tak heran, pertunjukkan mereka pun mengundang decak kagum para penonton yang memadati depan Pendhapa Sasana Krida Mangkubumen pada Sabtu malam (9/6/2018). Mata mereka seolah tak berkedip mengikuti gerakan tari yang disajikan begitu apik mengikuti alunan musik tradisional. Tepuk tangan dan sorak sorai pun beberapa kali terdengar dari penonton.

Rico selaku Wakil Ketua Penyelenggara, Cakrawalart Management, menyampaikan pihaknya ingin memopulerkan  penari lintas gender. Menurutnya, penari pria yang melakoni tarian wanita masih dipandang sebelah mata.

"Kami mengambil tema 'Kamuflase dalam seni tradisi, ketika kaum minoritas menuju prioritas'. Kami mendapati bahwa penari cross gender masih dipandang sebelah mata. Nah, kami di sini mengangkat beberapa tarian cross gender," kata Rico saat ditemui di belakang panggung.

Ada sekitar tujuh tarian cross gender yang ditampilkan pada malam itu. Tari Legong Bapang Saba asal Bali menjadi salah satunya. Tarian yang lazimnya dilakoni oleh dua penari wanita itu dipentaskan oleh seorang penari laki-laki. Meski jiwanya maskulin, penari tersebut tampak menari dengan lincah.

Dalam wawancara terpisah, Sidhi Widhiasih, Kepala Seksi Nilai dan Tradisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang yang juga merangkap sebagai guru tari, mengatakan tidak sulit bagi penari laki-laki untuk menarikan tarian wanita. Untuk penari profesional, bisa cukup berlatih selama tiga hari. Namun jika pemula, bisa latihan sampai tiga bulan.

Sidhi lanjut mengakui memang jarang penari laki-laki yang ditunjuk sebagai pelakon tarian wanita. Sebab, menurutnya, secara gerakan bisa saja luwes, namun penjiwaan mereka dirasa masih kurang maksimal.

"Si penari itu memerankan tokoh dalam sebuah cerita. Penari harus bisa menjiwai karakter tersebut," katanya.

Kendati demikian, Rico tetap berharap acara ini setidaknya mampu menghapus stigma banci pada penari laki-laki yang melakoni tokoh wanita dalam dunia tari.

"Semoga penari cross gender bisa diterima baik oleh masyarakat. Dapat menghapus imej, jika penari cross gender itu penari banci. Penari cross gender itu sebenarnya laki-laki biasa,  kesehariaannya laki-laki, tapi punya basic tari perempuan. Terakhir, semoga bisa menjual juga," ungkapnya.

Agar pementasan ini sukses dan meriah, Cakrawalart Management mengundang puluhan penari dari berbagai komunitas dan kampus di Indonesia.

"Ada yang dari Universitas Semarang (UNNES) lima penari. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) empat penari, ISI Jogja satu penari. Sementara ISI Surakarta, ada sekitar 16 penari. Ada juga dari Padepokan Pancasila dan Singo Bedjo Gumelar," tutupnya. (mia)

(way)