SOLO, solotrust.com- Ijtima Ulama yang kurang sesuai pada porsinya atau hanya menjadi akal-akalan upaya politik praktis membuat sekelompok aktivis pemuda di Kota Solo yang tergabung dalam Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI) tidak tinggal diam.
Untuk itu, HAMI menggelar Seminar Nasional bertema Menyoal Ijtima Ulama, Menakar Kesalehan Kandidat Pilpres 2019 di Resto Pringsewu, Laweyan, Solo, Kamis (28/2/2019) siang. Dalam seminar itu seratusan peserta yang terdiri dari aktivis muda dari kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Solo diberikan pemahaman agar sebagai anak muda dan generasi milenial tak terseret dengan isu-isu sektarian melainkan harus lebih kritis dan mulai terbuka.
Sekretaris Lembaga Badan Hukum (LBH) Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama Yogyakarta, Gugun El Guyanie menuturkan, bila pertarungan elektoral pilpres 2019 cenderung diwarnai dengan kompetisi meraup restu dan dukungan ulama hingga dominan mengarah pada agama sebagai politik identitas.
“Kita tegaskan bahwa Ijtima ulama mengalami politisasi. Ini terjadi profanisasi ijtima dan profanisasi ulama yang harusnya sakral, tapi dibawa ke ranah politik praktis," kata Gugun saat dijumpai solotrust.com di sela mengisi acara sebagai narasumber.
Menurutnya, kini dalam ajang Pilpres 2019 ramai isu berlandaskan sektarian atau kebencian terhadap adanya perbedaan baik agama maupun fraksi politik untuk mempengaruhi elektabilitas capres, dan jika tidak dimanajemen dengan baik akan memengaruhi mutu masa depan demokrasi yang ada di Indonesia yang semakin carut marut.
Strategi Ijtima Ulama dianggap hanyalah akal-akalan politik yang dilakukan para elite dengan mengatasnamakan umat Islam. Ijtima digunakan sebagai movement politik. Politik identitas dibentuk untuk mampu mendulang legitimasi dari ulama yang dipercaya mempresentasikan umat Islam.
"Strategi inilah yang dipakai menjadi kendaraan politik Prabowo - Sandiaga Uno dalam Pilpres ini meskipun keduanya tidak ada yang mempresentasikan ulama. Ini seperti gelombang lanjutan Pilkada DKI 2017 lalu dimana gerakan-gerakan berjilid-jilid secara politik menghantarkan Anies Baswedan memimpin DKI Jakarta," bebernya.
Lanjut dia, hasil ijtima ulama yang dilakukan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF) dalam pemilihan kandidat calon presiden begitu sarat dengan politik, tidak mencerminkan akidah Ijtima Ulama.
"Ijtima ulama sebuah forum yang harus menghasilkan ijma harus dihadiri orang-orang yang berkompeten dalam hal keagamaan atau ahli fikih. Tapi kalau Ijtima dihadiri oleh para politisi yang tak memikiki kompetensi dalam bidang hukum agama maka itu sudah batal," katanya
"Seharusnya dalam menentukan kriteria pemimpin atau seorang presiden misalnya yang jujur, sehat jasmani rohani. Tapi GNPF langsung melabuhkan dukungan secara politik kepada 02, jadi ada desakralisasi ijtima ulama kita sedang dalam fase politik sektarianaisme, isu primordialisme agama menguat untuk legitimasi," imbuh Gugun
Sehingga, Gugun berharap dengan adanya kegiatan seperti seminar ini para pemilih mampu disadarkan bahwa konflik sektarian semakin menguat dan isu agama membahayakan demokrasi di Indonesia, dengan begitu Pemilu tahun 2024 mendatang tidak semakin keras.
Sementara itu, Pengamat Politik/Hukum UNIBA Surakarta Hafid Zakariya menilai, bila sudah saatnya isu kinerja, gagasan dan pemikiran Paslon Capres dan cawapres yang diunggulkan menjadi barometer untuk pemilih, bukan lagi isu sentimen keagamaan. Menurutnya, dalam Pemilu 2019 isu sentimen dan gesekan agama harus segera ditanggalkan.
"Isu sektarian dalam demokrasi di Indonesia memang tidak dinafikkan, tapi harus ada pergeseran dari yang kental dengan politik identitas, agama, bergeser ke politik rasional, dengan melihat dari kinerja dari gagasan masadepan pemikiran itu yang menurut saya harus didorong," ujar Hafid yang juga menjadi narasumber.
Melalui seminar ini, Hafid ingin mendorong anak muda, para aktivis untuk lebih open minded terhadap isu-isu yang menyeruak dalam Pemilu 2019 ini. Diakuinya Kedua kubu baik Jokowi maupun Prabowo memiliki daya tawar bagi masa depan Indonesia.
"Isu hoaks jangan dibalas dengan hoaks, jangan malah dibenturkan keduanya sama-sama didukung ulama, harusnya fokus terhadap program dari masing-masing Paslon untuk menjadikan Indonesia yang hebat dan sejahtera, kita harus moderat," pungkas dia. (adr)
(wd)