Ekonomi & Bisnis

Bisnis Perhotelan Hadapi Transformasi Digital

Ekonomi & Bisnis

22 Maret 2019 17:04 WIB

Peluncuran buku Winning Competition.

SOLO, solotrust.com - Kecanggihan teknologi informasi dan dunia maya dinilai mendisrupsi pengelolaan bisnis model lama yang bertopang pada kekuatan modal. Zona bisnis perhotelan diprediksi akan terseret arus perubahan dan bila para pelaku bisnis perhotelan enggan berubah, dikhawatirkan akan ketinggalan.    

Hal itu diungkap oleh Dicky Sumarsono, salah seorang pakar hotel asal kota Solo, saat meluncurkan buku ketiganya yang bertajuk "Winning Competition - New Business Model for Hotel Industry" di Hotel Swissbel-inn Saripetojo, Solo, Rabu (20/3/2019).



"Saya menawarkan jawaban jitu bagi dunia bisnis perhotelan dalam menghadapi iklim perubahan. Sebab, dalam dunia bisnis jelas bahwa adanya perubahan tidak bisa ditolak," kata Dicky.

Menurutnya, desain lanskap bisnis perhotelan di Indonesia dituntut terus berakselerasi sebanding lurus dengan perubahan. Dibutuhkan respon cepat, inovasi unik dan unggul untuk menjawab kebutuhan konsumen dalam menghadapi kemajuan teknologi maupun perubahan signifikan perilaku customer. Sehingga keunggulan kompetitif sebuah hotel di masa depan tidak ditentukan oleh produk dan proses inovatif, tapi oleh model bisnis dan platform yang inovatif.

"Pembaruan model bisnis perhotelan tidak hanya menyangkut kalkulasi di atas kertas. Banyak pengusaha hotel mengambil langkah ekstrim untuk memanjakan dan memberi pengalaman lebih ke konsumen. Mereka tidak mau berkutat dalam pasar yang sudah ada, namun menciptakan pasar sendiri. Mereka memberikan pengalaman kepada konsumen tentang menginap di kamar hotel dengan cara berbeda," terangnya.

Kata Dicky, saat ini model bisnis baru yang diciptakan oleh perusahaan-perusahaan termasuk hotel, telah mulai bermunculan. Ekonomi digital memunculkan era ekslusif menjadi inklusif, jika sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh kalangan tertentu yang punya modal besar dengan model bisnis digital, kini semua orang bisa mengiklankan usaha dengan modal kreativitas.

"Transformasi digital dalam industri perhotelan bukan merupakan pilihan tapi keharusan, yang dapat membantu industri ini menjadi lebih kompetitif di era digital, yang bermanfaat untuk mencapai operation excellence dan bisnis excellence," tuturnya.

Buku ini memaparkan berbagai cara untuk memodifikasi dan mengembangkan model bisnis. Dimana semua model bisnis ini menitikberatkan pengetahuan pengusaha atau pengelola hotel terhadap kebutuhan konsumen. Terutama keluhan konsumen yang sering muncul yaitu harga kurang terjangkau, terlalu lama menunggu, pilihan terbatas, kegunaan produk mubazir dan berlebihan tapi harus tetap di bayar, produk susah dicari, kurang simpel dan lainnya.

"Untuk memenuhi kebutuhan customer tersebut, menurut saya perlu dilakukan pengamatan empiris. Tujuannya adalah untuk memperoleh value preposition untuk dapat memecahkan masalah pelanggan bahkan memuaskannya," ujarnya.

Dicky mencontohkan beberapa alternatif yang bisa dimodifikasi dan dikombinasikan. Seperti, transaksi serba digital, meminimalkan SDM. Freemium, yaitu strategi harga kreatif dengan ekspektasi pengguna gratis namun lama kelamaan akan membayar. Selling experience, menjual pengalaman untuk mempengaruhi kesan pelanggan mulai dari kemasan produk, desain promosi, penampilan staf.

Contoh lain, hotel membuat aktivitas baru, misal menyediakan layanan antar jemput untuk paket meeting korporasi perusahaan swasta. Optimasi diversifikasi sebuah peluang. Menjalin hubungan dan urutan yang baru yang berbeda antar aktivitas. Mengubah kekuatan lawan menjadi kelemahan, dengan menempati posisi yang berseberangan dengan pesaing sehingga tidak perlu bersaing head to head dengan mereka.

Dalam buku “Winning Competition” dipaparkan model bisnis sebagai cara dan strategi baru untuk menciptakan profit yang optimal dan berkelanjutan. Para penggiat di bisnis perhotelan harus berani untuk bisa tak hanya menghadapi suasana pasar, melainkan menciptakan tren market sendiri. Sehingga dapat bertahan dan mengantongi profit yang berkelanjutan.

Saat ini, menurut Dicky, valuasi sebuah hotel tak lagi didasarkan pada apa yang dijual oleh hotel saja, tapi juga mengulurkan prospek yang tampak pada keberadaan hotel tersebut dalam membangun ekologi yang disebut sebagai pasar. Jadi model bisnis dan prospek bisnis hotel serta profesionalisme SDM di dalamnya yang selalu melakukan peningkatan keterampilan yang akan dinilai menjadi tinggi.

Buku ini bisa dibilang seri kelanjutan dari buku pertama yang berlabel Dahsyatnya Bisnis Hotel di Indonesia. Sebelumnya, CEO Azana Hotels & Resorts itu juga menulis buku kedua berjudul Luar Biasa Bisnis Restoran di Indonesia.

"Diharapkan, buku ini dapat menjadi sumber referensi bagi yang berada di posisi start-up atau merintis maupun yang sudah lama eksis di bisnis perhotelan seperti para CEO Hotel, Direktur Hotel, General Manager Hotel, Department Head Hotel dan para Hotelier," paparnya.

Sebagai CEO Azana Hotels & Resorts, Dicky Sumarsono, saat ini mengelola 40 hotel di Indonesia mulai dari concept budget hotel, convention hotel, resort, villa hingga cabin hotel dengan merk Front One Cabin, Front One Inn, Front One Boutique, Front One Hotel, The Azana Hotel, Azana Styles, Azana Resort dan white label brands. Tahun ini, sebanyak 16 proyek hotel dalam pembangunan dan 20 hotel siap dibangun. Sehingga Azana akan mengoperasikan sebanyak 60 hotel tahun ini. (Rum)

(wd)