Hard News

Miris, Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat 66%

Jateng & DIY

16 Mei 2019 16:39 WIB

Fitri, Manajer Divisi PPKBM SPEK-HAM.

SOLO, solotrust.com - Kekerasan terhadap perempuan diketahui mengalami peningkatan jumlah kasus. Hal itu diungkap oleh Fitri, Manajer Divisi PPKBM Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM).

"Berdasar Data pengaduan, tahun 2017 ada 38 kasus. Di tahun 2018 ada peningkatan sekitar 66 persen dari tahun 2017 menjadi 58 kasus. Ini menunjukkan tren cenderung meningkat," tuturnya pada solotrust.com, Rabu (15/5/2019).



Menurutnya, berdasar jenis kekerasan memang masih banyak didominasi kekerasan terhadap istri dengan jumlah 54 kasus. Selebihnya adalah kekerasan terhadap anak perempuan 2 kasus, kekerasan dalam pacaran ada 2 kasus.

Bila dilihat berdasar bentuk kekerasan terhitung lebih dari 58 kasus. Kekerasan fisik mencapai 20 kasus, kekerasan psikologis 30 kasus, penelantaran 20 kasus, dan kekerasan seksual 2 kasus.

"Jadi dalam sekali waktu korban mengalami sekitar 3 bentuk kekerasan. Salah satunya, suami melakukan nikah siri yang tidak diketahui istri dan suami melakukan perselingkuhan," jelasnya.

Fitri melihat dari segi tren usia cukup luar biasa. Sebab berdasar data ditemukan korban kekerasan di usia di atas 40 tahun cenderung kecil. Sebaliknya, korban di usia produktif (19-24 tahun) ditemukan memang banyak. Sedangkan jumlah pelaku kekerasan ternyata kebanyakan di usia 25-40 tahun.

Bila dilihat berdasar tingkat pendidikan, pelaku kekerasan terhadap perempuan tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan meski lebih banyak mereka yang berpendidikan SLTA menjadi korbannya. Dengan kata lain, dari sisi pelaku, tidak peduli pendidikannya apa, pelaku kekerasan ditemukan merata di semua strata pendidikan.

Lain lagi dari sisi pekerjaan. Data menunjukkan jenis pekerjaan atau status bekerja atau tidak, ternyata tidak ada pengaruhnya terhadap terjadinya kekerasan. Data yang dianalisa SPEK-HAM menunjukkan banyak pelaku kekerasan pada perempuan yang bekerja dan memiliki tingkat ekonomi cukup bahkan pegawai negeri.

Fitri menambahkan, dari 58 kasus yang tercatat, hampir semua korban mengaku tidak mengetahui kemana hendak mengadukan kasus yang menimpa dirinya. Hal tersebut dinilai miris, sebab baik pemerintah maupun yayasan sosial yang bergerak di bidang pemberdayaan wanita maupun HAM telah tersedia.

"Selama ini sebenarnya mereka tahu tidak layanan yang dimiliki pemerintah? Ternyata 55 orang pengadu tidak tahu, dan hanya 3 orang tahu bahwa pemerintah punya layanan," paparnya.

Dari fakta tersebut, menunjukkan bahwa belum banyak informasi terkait kehadiran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Terhadap Anak-anak (P2PT2A) milik pemerintah yang memberi layanan terhadap korban kekerasan. Selebihnya, para korban justru mendapat layanan dari lembaga sosial.

Sebagai informasi, berdasar data nasional terdapat 406.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 2500 kasus di Jawa Tengah yang terdeteksi sepanjang 2018. (Rum)

(wd)