SOLO, solotrust.com - Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Surakarta menggelar sembahyang King Hoo Ping di Lithang atau tempat ibadah agama Konghucu di Jalan Drs. Yap Tjwan Bing, Purwodiningratan, Jebres, Solo, pada Minggu (25/8/2019).
Ratusan umat konghucu mengikuti sembahyang di halaman tempat ibadah, mereka dengan khusuk memanjatkan doa bagi arwah umum leluhur maupun bukan leluhur, doa dipanjatkan dalam dua sesi pertama secara bersamaan dilanjutkan doa pribadi dengan dupa berjumlah lima.
Di belakang altar tertempel ratusan kertas kuning bertuliskan nama para leluhur dengan huruf Mandarin, dari umat dan simpatisan yang menginginkan agar leluhur mereka juga disembahyangkan, selain itu, dipasang bendera bertuliskan nama Marga orang Tionghoa di altar sembahyang untuk ikut disempurnakan, perlu diketahui di Indonesia ini lebih dari 300 nama marga Tionghoa, yang terkenal misalnya Tan, Liem, Lie, Go, Kwik, dan lain sebagainya.
Dalam pelaksanaan upacara King Hoo Ping, umat bersembahyang serta memberikan sesajian makan dan minum maknanya untuk mengenang seolah olah kita memperlakukan seperti saat mereka masih hidup, maka suasana ketulusan, hormat dan khidmat dalam sembahyang ini begitu kental terasa.
Terdapat tiga altar, pertama adalah Altar Thi Kong (Tuhan Yang Maha Esa, Red) letaknya di teras Lithang, sedangkan dua lainnya ditengah arena upacara yaitu altar umum, dan altar khusus vegetarian, karena banyak leluhur yang sepanjang hidupnya tidak makan daging.
Ws. Adjie Chandra selaku pemimpin upacara, mengatakan, upacara ini dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 25 Jit Gwe 2570. Bagi kalangan umat Khonghucu yang tergabung Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Surakarta, sembahyang ini dilakukan untuk mengenang dan memberi penghormatan kepada arwah baik keluarga maupun umum.
Umat Konghucu meyakini pada bulan 7 Imlek adalah bulan khusus untuk persembahyangan di mana pintu akherat dibuka dan para arwah diberikan kesempatan untuk turun ke dunia untuk mengikuti doa bersama dan menikmati sesajian yang dipersembahkan di altar bagi para arwah.
“Pada waktu seperti ini diyakini pintu akhirat terbuka sehingga para arwah bisa turun ke dunia untuk menengok manusia. Disaat seperti itu orang Thionghoa diwajibkan melakukan sembahyang pengenangan dan penghormatan pada leluhur, maupun bukan leluhur," kata Adjie kepada solotrust.com usai upacara.
“Dipercaya bahwa sembahyang King Hoo Ping merupakan sebuah rekomendasi bagi para arwah, atau setidaknya rasa simpati manusia yang masih hidup kepada mereka yang telah meninggal, Nabi Khongcu juga mengajarkan agar kita memperlakukan mereka yang telah tiada meninggal seakan orang yang hidup,” tambah dia.
Di akhir upacara, sebuah replika kapal yang terbuat dari kertas dan kerangka bambu, di dalamnya berisi kertas-kertas perak nama-nama arwah yang disembahyangkan, lalu disempurnakan dengan cara dibakar.
"Penyempurnaan ini suatu lambang dengan sarana transportasi tersebut kita mengantar agar para roh itu segera kembali ke tempatnya, karena akhir bulan 7 imlek (Jit Gwe) sebelum pintu ditutup mereka harus pulang, ini simbol kami," tutur Adjie.
Untuk diketahui, umat Khonghucu dalam setahun melakukan tiga kali sembahyangan kepada leluhurnya, yaitu saat menjelang malam tahun baru Imlek, saat Ching Bing/sembahyang Sadranan ( 5 April ) dan saat pertengahan bulan 7 Imlek yang terdiri dari 2 ibadah Jit Gwe Poa tanggal 15 bulan 7 Imlek, dan akhir bulan 7 Imlek ada King Hoo Ping. (adr)
(wd)