Hard News

Akademisi dan Mahasiswa UNS Tolak Revisi UU KPK, Dinilai Tidak Lazim

Sosial dan Politik

13 September 2019 09:32 WIB

Pernyataan sikap Pustapako dan civitas akademika UNS menolak Revisi UU KPK, di LPPM UNS, Jebres, Solo, pada Rabu (11/9/2019) siang.

SOLO, solotrust.com - Gelombang penolakan terhadap Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengalir dari banyak pihak, karena dianggap sebagai bentuk pelemahan terhadap lembaga negara penangkap koruptor itu.

Di Kampus UNS, Pusat Studi Transparansi Publik dan Antikorupsi (Pustapako) menggelar diskusi publik dan pernyataan sikap oleh akademisi dan mahasiswa UNS, yang menyerukan dukungan terhadap KPK agar tidak dilemahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Revisi UU Nomor 30 tentang KPK.



Kegiatan tersebut berlangsung di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS, Jebres, Solo, pada Rabu (11/9/2019) siang.

Pakar Hukum Tata Negara UNS, Agus Riwanto mengatakan, ada keganjilan dari aspek legal drafting. Ia menyebut DPR melakukan hidden agenda dalam prosedur atau mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan revisi yang memunculkan anggapan tidak lazim.

Agus menjelaskan, dalam sistem presidensial, rancangan perundang-undangan baik revisi maupun pengajuan boleh diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Presiden. Dalam hal ini, Revisi UU 30/2002 KPK ini adalah inisiasi dari DPR. Kendati demikian, harus masuk program legislasi nasional (prolegnas). Akan tetapi dalam prolegnas 2019 berisi 55 RUU (Rancangan Undang-Undang) tapi tidak satu pun bicara soal aspek UU Anti korupsi.

“Kalau pengajuan UU tidak masuk dalam prolegnas, tidak lazim. UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undagan, setiap RUU harus masuk prolegnas, tidak boleh by pass mengagetkan seperti ini," tegasnya

Sedangkan Pasal 96 UU pembentukan peraturan perundang-undangan ada mekanisme partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan. Fungsinya, setiap UU yang baru atau hasil revisi tidak tiba-tiba muncul, tapi ada sosialisasi kepada publik.

"Baik dalam bentuk prolegnas atau inisiasi menyampaikan gagasan awal revisi UU tersebut. Nah, ini tidak, dia tiba-tiba hadir begitu saja pada saat masa kerja DPR akan berakhir pada tangal 1 Oktober mendatang. Jika ini disetujui maka yang akan membahas adalah DPR periode selanjutnya hasil Pemilu 2019," terangnya.

Kepala Pustapako, Khresna Bayu Sangka menyebut KPK sebagai tonggak utama dalam upaya melawan korupsi tersebut saat ini tengah diserang dan dilemahkan dari berbagai sisi jika dicermati ada beberapa indikasi pelemahan KPK dari usulan DPR RI untuk melakukan perubahan terhadap UU KPK. Pihaknya mendesak presiden agar tidak menandatangani Revisi UU KPK tersebut.

“Revisi UU No 30 Tentang KPK berisi pasal yang justru meringankan hukuman, bahkan memberi label korupsi sebatas kejahatan keuangan, bukan kriminal luar biasa. Tentu ini tidak dapat disebut revisi, tetapi remisi UU karena lebih ringan dari UU sebelumnya,” tandasnya.

Selain itu, Pustapako menilai revisi UU KPK akan membunuh independensi KPK. Segala bentuk kewenangan KPK yang selama ini yang efektif untuk menjaring koruptor, dalam revisi UU telah mengamputasi peran KPK. Jika semua itu berhasil, maka pemberantasan korupsi akan kembali ke zaman di mana KPK belum hadir.

"Independensi KPK jangan sampai terganggu karena pergolakan revisi UU,” katanya.

"Kami Pustapako dan Segenap Civitas Akademika UNS akan senantiasa ada di garda terdepan dalam gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan bantuan Presiden yang notabene orang Solo, punya wewenang dan kekuasaan untuk menjaga KPK tetap kuat, kami di Solo siap untuk untuk bekerjasama mengawal Presiden dalam menyelamatkan Indonesia dengan misi anti korupsi di Indonesia," pungkasnya. (adr)

(wd)