SOLO, solotrust.com – Menekan angka hoaks di masyarakat, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Tengah bersama Direktorat Jenderal Informasi dan Kebijakan Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengadakan pelatihan Cek Fakta di Aula Monumen Pers, Kamis (12/9/2019).
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Prof. Widodo Muktiyo saat menghadiri acara itu turut memberikan pemaparan tentang penguatan peran media menjadi pahlawan milenial dalam memerangi hoaks. Ia menyampaikan beberapa hal terkait peran komunikasi media sosial dan media konvensional yang menjadi pilar antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
“Peran media harus menjadi penengah antara Virtual Reality dengan Social Reality, Sebab, realitas masyarakat tidak hanya persoalan virtual tapi juga social reality karena saling memengaruhi, satu ucapan di virtual menjadi social reality, begitu pula sebaliknya social menjadi heboh virtual,” kata Prof. Widodo.
Media menyediakan berbagai informasi (information flood) menjadi konsumsi seluruh elemen masyarakat mulai dari cendekiawan, pakar, tokoh masyarakat, tokoh agama hingga rumah tangga. Prof. Widodo menyampaikan, media di era post truth, menggambarkan kebenaran fakta dan bukti tidak terlalu penting, sepanjang narasi, cerita dan pemikiran diterima berdasarkan kesamaan pandangan pemikiran dan keyakinan.
"Ini yang harus dilawan dalam otak kita. Dewasa ini subur cara-cara manipulatif dan menyihir orang untuk mempercayainya berdasarkan prinsip di luar penalaran dan akal sehat. Pembukaan UUD 1945 menjadi acuan kita fungsi media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan membikin runyam," bebernya.
Widodo dalam tugas luar kota pertamanya setelah menjabat Direktur IKP belum lama ini, juga memaparkan jumlah perusahaan media di Indonesia per 2019 ini mencapai 47.000, sedangkan yang terverifikasi dewan pers hanya 2.400.
"Jumlah media terverifikasi dewan pers hanya sekitar 5 persen. Dari total 47.000 perusahaan media terdiri dari media Siber: 43.300, Radio: 674, Televisi: 523 dan Cetak: 2000," papar dia.
Kata dia, masyarakat adalah konsumen, produsen sekaligus distributor informasi melalui maraknya media sosial. Sehingga harus bisa memfilter disinformasi dan hoaks. Media harus memberikan informasi yang valid, kredibel, hiburan, edukasi dan kontrol sosial bagi masyarakat.
"Jangan menafikkan kecerdasan kita dari narasi yang membius melalui kata-kata, gambar dan suara. Jenis jenis hoaks bisa dilihat dari konten yang termanipulasi, konten tidak sesuai dengan konteks. Ciri-ciri berita hoaks antara lain, sumber informasi tidak jelas, ketidakwajaran, bersifat provokatif, tidak memiliki kesesuaian antara judul dan isi, tidak mencantumkan waktu kejadian atau tanggal informasi dan mendiskreditkan pihak tertentu,” terangnya.
Pemerintah juga memantau isu dan melakukan perlindungan sesuai amanat UU ITE. Amanat kepada pemerintah dalam UU 19/2016 tentang perubahan UU 11/2018 tentang ITE pasal 40 2b pemerintah berwenang memutus akses media. Kepercayaan publik kepada jurnalisme sebagai sumber informasi meningkat +5, sedangkan platform menurun -2 dari grafik tahun 2012 -2018.
“Tiga kunci media di era disrupsi yakni mematuhi Kode etik jurnalistik (ethic), Cover both side keadilan dan kebenaran (truth), dan konten yang dapat dipercaya (trust),” jelasnya.
"Jauhi negatif knowledge, pahlawan milenial memberikan positif knowledge," tegas Prof. Widodo.
Sementara itu, Ketua AMSI Jateng, Suwarmin mengatakan, kegiatan pelatihan cek fakta ini sebagai bagian dari kampanye anti hoaks dan sebagai kewajiban media mainstream untuk selalu menyampaikan berita secara benar dan jernih.
“Era internet of think dibanjiri banyak sampah informasi, harapannya AMSI dan media bisa kerja sama membantu kasyarakat mengkurasi atau menyeleksi berita supaya tidak terjadi distorsi informasi yang mencelakakan masyarakat dan negara. Perselisihan pertengkaran karena berita hoaks, nanti bisa disharingkan ke teman-teman, fitnah dan sebagainya, tidak ada yang lebih merusak kecuali berita bohong, hancurnya tatanan sosial karena hoaks," tandasnya.
Adapun pelatihan cek fakta diikuti puluhan jurnalis media siber dari Kota Solo dan luar solo, bahkan ada yang dari Semarang. Para peserta diberi pelatihan dalam mengoperasikan tools tahap demi tahap untuk mengecek berita atau informasi yang beredar di masyarakat, akun buzzer dan lain-lain. Melalui tools seperti PeoplefindThor, Startme, Searchmybio, dipandu oleh dua mentor bersertifikat Google, Syifaul Arifin dan Rini Yustiningsih.
“Misal kita mau menelusuri video bisa diidentifikasi Nama gedung/toko, Plat kendaraan, Nama jalan, Dialek, Tugu/mojumen, Bentuk jalan. Video bisa di screenshot dicek melalui Google reverse image. Kemudian cara-cara mempersempit pencarian di google dengan tanda kutip, tanda minus pengecualian misal tidak ingin wikipedia menjadi disortir, site hal terkait akan muncul, filetype:xls (bencana alam) akan memunculkan data khusus excel tentang bencana alam, terakhir advance, dan tools-tools lainnya,” urai Rini.
Kepala Monumen Pers Widodo Hastjaryo mengatakan, pentingnya pelatihan cek fakta diberikan kepada jurnalis untuk mengkroscek kebenaran informasi-informasi yang muncul di media sosial. Harapannya ke depan dapat berperan meningkatkan literasi saring sebelum sharing yang bermanfaat bagi publik
"Tabrakan, berita foto kecelakaan beruntun di negara lain dikatakan di negara kita, cek fakta perlu. Berita tentang Papua, berita satu setengah tahun yang lalu dimunculkan kembali sehingga kita mengira itu sebagai sebuah kebenaran. Sehingga penting pelatihan cek fakta, ke depan kita lebih memahami , sehingga bisa mengetahui berita mana yang benar, mana yang bohong," kata Widodo. (adr)
(wd)