Entertainment

Ki Padmosusastro, Pujangga yang Tumbuh dari Keluarga Sadar Literasi

Profil dan Tokoh

3 Desember 2019 16:05 WIB

Penyampaian kisah tentang Omah Jowo dan biogafi Ki Padmosusatsro di sebuah Pendopo lawas Ndalem Padmosusastran pada Minggu (01/11/2019)

Solotrust.com - Hari masih pagi ketika beberapa orang sudah berkumpul di sebuah Pendopo lawas Ndalem Padmosusastran pada Minggu (01/11/2019). Udara di tempat itu masih bersih dan segar karena dikelilingi banyak pohon rindang serta beberapa tanaman yang terlihat asri.

Selang beberapa saat, orang-orang yang berkumpul tadi mulai duduk tenang di kursi-kursi yang telah disediakan, usai tiga orang yang saat itu hendak menyampaikan kisah tentang Omah Jowo dan biogafi Ki Padmosusatsro, seorang pujangga salah satu murid R.Ng.Ronggowarsito duduk di kursi pembicara yang sudah disiapkan. Ketiga orang itu ialah founder Solo Societeit Heri Priyatmoko, filolog Solo Societiet Danny Saptoni dan juga pengelola Omah Budaya Padmo Susastran.



“Tempat ini dahulunya adalah rumah yang pernah ditinggali Ki Padmosusastro,” ujar Heri Priyatmoko.

Fafa kemudian menambahkan, tempat ini dahulu sempat digunakan sebagai tempat aktivitas untuk kesenian, terutama ketika Prof.Sardono W Kusumo menjadi pengajar di Pascasarjana ISI Solo.

“Dahulu pada tahun 2001-2005 sempat digunakan untuk belajar dan ujian tugas akhir pascasarjana ISI Solo, tapi semenjak Prof. Sardono menjadi rektor IKJ aktivitas di sini kemudian berkurang.” cerita Fafa.

Fafa pun berinisiatif menghidupkan kembali tempat itu dengan ‘menjual’ konsep ndeso (desa-red) serta kembali mencoba mengenalkan tentang Ki Padmosusastro kepada khalayak, terutama kepada kaum milennial yang sudah berjarak dengan tokoh-tokoh kapujanggan yang dipunyai di Kota Solo sendiri.

Heri kemudian bercerita tentang Ki Padmosusastro.

“Ki Padmosusastro itu tidak hanya sebagai seorang pujangga, tetapi juga dwijo, dwijo ini lebih tinggi levelnya dibandingan dengan guru, kemudian lantip, lantip ini beda dengan cerdas. Terus kemudian dia itu juga wartawan dan juga editor,” dongeng Heri.

Padmosusastro lahir 1843 di daerah Sraten Kota Solo, kemudian meninggal pada 1926 dan mampu melahirkan banyak karya. Salah satunya ialah Rangsang Tuban, menceritakan tentang dua orang pangeran. Heri kemudian melanjutkan dongengnya, Padmosusatro semasa kecil sangat beruntung karena tumbuh dan berkembang dari keluarga yang benar-benar sadar literasi sebab pada 1843 belum ada sekolah.

“Sekolah di Kota Solo baru ada pada 1870. Itu pun belum ada politik etis yang ada pada 1905-an,” jelasnya.

Heri pun kemudian menerangkan tentang politik etis mencakup transmigrasi, irigasi, dan edukasi. Politik etis merupakan bentuk tanggung jawab dan balas budi Belanda kepada tanah jajahannya Hindia Belanda.

Padmosusastro mempunyai nama kecil Suwardi. Keluarganya sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Meskipun bukan berasal dari keluarga elit atau aristokrat bangsawan, namun keluarga Padmosusastro tetap memprioritaskan pentingnya belajar. Saat di Solo belum ada sekolah, Padmosusastro pun belajar secara autodidak.

Pada saat itu dapat membaca buku merupakan suatu hal istimewa, mengingat banyak sekali keterbatasan waktu itu. Meski demikian, orang tua Padmosusastro atau Suwardi tetap punya semangat tinggi mengajarkan banyak hal kepada anaknya. Semangat itu menular kepada anaknya ketika beranjak remaja.

Suwardi waktu kecil diajarkan membaca dan menulis. Suwardi saat itu juga diajarkan Bahasa Melayu secara informal. Jadi, dia diajarkan tiga bahasa, yakni Belanda, Jawa, dan Melayu. Sekolah di Kota Solo, saat itu baru ada pada 1870-an. Itu pun khusus untuk anak-anak orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda. Orang-orang menganggap Hindia Belanda merupakan negeri yang mirip dengan surga sehingga banyak dari mereka enggan untuk pergi dari Hindia Belanda sampai tua.

Sekolah tersebut tidak bisa diikuti orang-orang Jawa. Efek dari pelajaran yang diberikan secara informal oleh orang tuanya membuat Suwardi di usia sembilan tahun sudah dijadikan abdi dalem Keraton Surakarta dan ditempatkan di Kepatihan hingga kariernya saat itu mencapai kepala kejaksaan bagian kriminal.

Namun sayangnya, Suwardi tersandung utang piutang kepada seorang Tionghoa. Ia tak bisa membayarnya. Karena itulah, Suwardi akhirnya keluar dari pekerjaannya sebagai seorang abdi dalem yang pada saat itu pekerjaan sebagai abdi dalem sangat diidam-idamkan ibarat pegawai negeri sipil (PNS) saat ini.

Usai keluar sebagai seorang abdi dalem dengan masuk golongan priyayi menjadi periode penting dalam hidupnya. Suwardi pun memproklamasikan menjadi seorang merdeka dalam berkarya dan mengembangkan kesusastraan Jawa yang telah disukainya semenjak remaja dulu.

Padmosusasto merupakan seorang cerdik dan mampu memanfaatkan tehnologi saat itu. Ketika ada koran dan percetakan, dirinya memanfaatkannya dengan menjadi jurnalis. Koran pertama di Solo bernama Bromotani pada 1860, berbahasa Jawa dan hanya bertahan selama tiga tahun. Padmosusastro sendiri bergabung dan menjadi jurnalis di koran Bromotani 2 setelah koran Bromotani 1 berhenti operasi.

Tulisan-tulisan karya Padmosusastro tidak memakai perumpamaan-perumpamaan, namun langsung berbicara fakta-fakta yang ada. Ini yang membedakan dengan tulisan gurunya R.Ng. Ranggawarsito yang menggunakan tembang dan perumpamaan dalam berkarya.

Padmosusastro juga menjadi bagian penting kala Museum Radya Pustaka berpindah dari kantor di Kepatihan menuju Sriwedari. Ki Padmosusastrolah yang mencetuskan adanya diskusi dan kegiatan lain di Museum Radya Pustaka. Karya-karya Padmosusastro saat ini sudah terdigitalisasi di museum. (dd)

(redaksi)