SOLO, solotrust.com – Pasar Buku Sriwedari dahulu menjadi tujuan utama bagi masyarakat Solo mencari buku, terutama buku pelajaran. Namun sekarang, kondisi Pasar Buku Sriwedari tak lagi sama. Kendati masih mengalami lonjakan penjualan selama tahun ajaran baru dengan rata-rata sebesar 20 persen, namun profit pedagang pasar setiap tahun mengalami penurunan.
Pasar Buku Sriwedari kini tak lagi ada pembludakan kendaraan parkir lantaran gelombang pembeli semakin menurun tiap tahun. Fasilitas di area pasar pun tidak sedikit mengalami kerusakan, seperti toilet dan palang bangunan kios terlalu pendek.
Banyak kios memilih tutup atau banting setir ke jasa percetakan, bengkel, dan warung makan. Hal ini menjadi tanda peringatan bahaya karena sebetulnya kios belakang Sriwedari diperuntukkan khusus jual-beli buku, bukan kuliner.
Menurut Ketua Paguyuban Pasar Buku Sriwedari, Purwadi, ada 97 kios saat ini masih bertahan buka di Pasar Buku Sriwedari. Namun, hanya kurang dari 60 persen yang masih berjualan buku.
“Kisaran 60 persen yang masih jualan buku. Sisanya ada percetakan, ada bengkel juga, di sana sekarang malah ada kopi ya, walaupun nggak boleh karena keadaan untuk perizinan sini sebenarnya untuk buku, bukan kuliner,” kata Purwadi saat berbincang dengan solotrust.com, Selasa (22/07/2025).
Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kemajuan teknologi dan perubahan dunia digital. Di era sekarang, buku dapat dibaca di mana saja karena telah tersedia e-book, buku digital yang harganya bisa lebih murah daripada buku cetak. Tentu hal ini memengaruhi ekonomi jasa penerbitan dan percetakan, termasuk di dalamnya berdampak pada perputaran ekonomi industri buku, terutama bagi para pedagang Pasar Buku Sriwedari.
Pedagang sudah berusaha mengikuti arus teknologi. Sebagian di antaranya mulai merambah ke marketplace, menjual buku secara online, seperti di aplikasi Facebook, Lazada, Shopee, Tokopedia, dan TikTok.
Kesulitannya adalah sebagian lain pedagang di Pasar Buku Sriwedari sudah cukup berumur, sehingga tak mampu mengikuti dunia digital. Bagi sebagian itu, mereka hanya bisa mengandalkan lapak penjualan buku secara langsung. Hal ini membuat tiap toko bisa mendapatkan nilai omzet berbeda-beda.
Faktor kedua yang memengaruhi adalah kebijakan nasional terkait kurikulum pendidikan. Salah satu pedagang di Pasar Buku Sriwedari, Novi mengaku, kurikulum pendidikan kerap mengalami perubahan sehingga membuat mereka tidak bisa menjual buku lawas (bekas-red).
Ia juga menjelaskan, jika kurikulum masih sama pun, biasanya akan ada revisi dan pasti ada cetakan buku baru. Padahal, dulu ekonomi Pasar Buku Sriwedari kuat karena mampu memberikan opsi buku bekas yang lebih murah bagi masyarakat Solo.
“Dulu ramenya buku pelajaran bekas, kalau sekarang itu satu ya banyak marketplace itu, yang kedua daya beli karena sekarang digital, di samping itu kurikulum yang berubah-ubah. Walaupun kurikulum sama itu pasti ada revisi setiap saat, jadi pasti ada cetakan baru lagi setiap tahun. Ini ada cetakan baru lagi,” terang Novi.
Faktor selanjutnya datang dari kurangnya perhatian pemerintah daerah pada industri buku. Pedagang banyak mengeluhkan ketidakhadiran bantuan Pemerintah Kota Surakarta (Solo) untuk menghidupkan kembali Pasar Buku Sriwedari.
“Dukungan pemerintah kurang, tidak seperti dulu. Perhatian pemerintah sekarang untuk industri buku minim. Kebanyakan sektornya dialihkan ke yang lain,” sambung Purwadi.
Operasional Pasar Buku Sriwedari bernaung di bawah Dinas Pariwisata Kota Solo. Seorang pedagang, Dwi menyatakan, Dinas Pariwisata memang pernah berkunjung, namun hanya sekadar datang dan tidak mengusahakan perbaikan.
“Dinas ya pernah dateng, tapi kenyataannya ya cuman lihat, nggak ada yang berubah. Nggak ada perbaikan, kacau ini,” keluhnya.
Para pedagang menyatakan telah bersuara dan mengeluh selama ini, namun suara mereka tak banyak mengubah keadaaan.
“Ikut Pariwisata jadi kurang di-up, menurutku ya. Makanya saya ada Instagram, kadang ya saya bilang, tapi ya nggak ada perubahan. Pengin dipromosikan juga, seperti di-support gitu, Solo ini ada Buku Sriwedari gitu,” tambah Novi.
Menurut pedagang di Pasar Buku Sriwedari, mereka telah mencoba meminta bantuan, namun Dinas Pariwisata Kota Solo terus menyatakan tidak bisa banyak membantu karena anggaran tidak tersedia.
Para pedagang kecewa karena merasa tidak begitu diperhatikan pemerintah kota. Padahal, di satu sisi, pembangunan wisata di Kota Solo sangat gencar selama ini.
“Itulah yang saya sayangkan, kita sudah berusaha bersuara, tetapi mereka diam seribu bahasa. Alasannya klasik sebenarnya, masalah anggaran, nggak ada anggaran. Kalau nggak ada anggaran ya namanya pemerintah kan harus gimana, cari solusi,” lanjut Purwadi.
Pedagang mempertanyakan mengapa Pemerintah Kota Solo rasanya enggan membangun wisata berbasis industri buku. Mereka berharap Pasar Buku Sriwedari segera dapat perhatian lebih supaya kondisi mereka membaik.
“Harapan kami, pemerintah turun gitu, peduli gitu harapan saya. Sering berulang kali colek pak wali (wali kota Solo), dari dinas yang terkait, tapi merekanya belum tergugah. Entah karena apa saya nggak tahu, cuma saya juga sering di media sosialnya beliau di Instagram, di TikTok, di tempat-tempat curhat, tapi sampai saat ini belum ada respons,” tutup Purwadi.
(and_)