SOLO, solotrust.com - Tidak selamanya diam itu emas. Budaya diam yang berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga menimbulkan banyak dampak negatif. Salah satunya adalah merajalelanya kasus cyberbullying di Indonesia.
Menurut Dr Nisa Rachmah Nur Anganthi, Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), masyarakat rentan menjadi korban cyberbullying lantaran budaya yang berkembang di Indonesia, khususnya Jawa. Ada sebuah anggapan yang menyebutkan bahwa orang yang mampu menahan rasa sakit adalah sosok yang kuat.
"Menurut penelitian di jurnal-jurnal yang saya baca, Indonesia termasuk rentan melakukan dan menjadi korban bullying, potensinya terbesar di dunia. Itu tidak mengherankan, karena di Indonesia, termasuk Jawa, kemampuan untuk mengekspresikannya kurang secara culture. Jadi pokoke kalo diapa-apake meneng, dianggap hebat," jelasnya dalam seminar Cyber Bullying Zaman Now di Monumen Pers Nasional, Sabtu (23/12/2017).
Padahal, lanjutnya, jika korban cyberbullying memilih untuk diam saja, maka tidak ada orang lain yang bisa menolong karena tidak tahu. Oleh karena itu, agar terhindar dari target cyberbullying, psikolog lulusan S3 Universitas Gadjah Mada ini menyarankan untuk belajar mengekspresikan diri.
"Jadi orang kalau dipukul sakit, jadi harus berani bilang sakit," tegasnya.
Selain itu, diperlukan juga keterampilan sosial yang baik untuk meminimalisir terjadinya cyberbullying. "Keterampilan sosial itu misalnya menjalin hubungan dengan orang lain, mengucapkan terima kasih kepada orang lain, meminta maaf jika melakukan kesalahan. Itu termasuk ketrampilan sosial," paparnya.
Nisa menambahkan, setiap orang juga harus melek hukum agar dapat mengatasi kasus cyberbullying secara tepat. "Jadi siapa pun itu harus melek hukum. Itu baik untuk diri kita ataupun keluarga kita," ujanya. (mia)
(way)