Hard News

Masuk Kemarau, BMKG Ingatkan Potensi Hujan Tinggi di Sejumlah Wilayah

Hard News

21 Juli 2020 15:31 WIB

Ilustrasi (Pixabay)

JAKARTA, solotrust.com - Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di sekitar garis ekuator serta diapit dua samudra dan dua benua besar memiliki dinamika cuaca dan iklim khas.

Kondisi cuaca atau iklim yang kontras tersebut, menurut Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, membuat sejumlah wilayah mengalami kekeringan, sementara hujan ekstrem justru mengguyur beberapa wilayah lainnya.



“Contohnya pada saat musim kemarau melanda hampir di sebagian besar wilayah Indonesia bagian Selatan, wilayah Indonesia bagian tengah mulai Sulawesi Tengah, Maluku hingga Papua bagian Utara malah berpotensi mendapatkan curah hujan relatif tinggi dalam dua dasarian (20 hari) ke depan,” ujar Kepala BMKG.

Sementara itu, berdasarkan hasil pemantauan BMKG, musim kemarau masih terus akan berlanjut hingga Oktober 2020 nanti.

Deputi Klimatologi BMKG, Herizal, menjelaskan dari 342 daerah Zona Musim (ZOM) di Indonesia, sebanyak 64 persen ZOM telah memasuki musim kemarau hingga pertengahan Juli. Hal ini seiring dominannya sirkulasi angin Monsun Australia yang bersifat kering dan bertiup dari arah Timur-Tenggara.

Wilayah-wilayah yang telah memasuki musim kemarau, 30 persen ZOM telah mengalami kondisi kering berdasarkan indikator Hari Tanpa Hujan berturut-turut (HTH) atau deret hari kering bervariasi antara 21 sampai 30 hari, 31 sampai 60 hari, dan di atas 61 hari.

“HTH terpanjang terjadi di Oepoi, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur selama 70 hari. Sementara itu, prediksi Hujan BMKG hingga sembilan bulan ke depan menunjukan musim kemarau secara umum akan berlangsung hingga Oktober 2020,” imbuh Herizal, dilansir dari laman resmi Sekretariat Kabinet RI, setkab.go.id, Selasa (21/07/2020).

Meski demikian, daerah yang tidak atau belum mengalami kemarau juga perlu mewaspadai adanya potensi curah hujan dengan kriteria tinggi hingga sangat tinggi dalam empat bulan ke depan.

Potensi itu didasarkan pada kondisi suhu muka air laut perairan Indonesia yang masih cukup hangat, sehingga mensuplai cukup uap air ke atmosfer akibat proses penguapan.

Sementara itu, aktivitas gelombang ekuator tropis (Gelombang Kelvin dan Rossby) serta aliran massa udara Samudra Pasifik yang masuk ke Indonesia, berpotensi menimbulkan peningkatan aktivitas pembentukan awan konvektif di Indonesia sebelah utara ekuator, terutama di Indonesia bagian Timur dan tengah.

(redaksi)

Berita Terkait

Berita Lainnya