SOLO, solotrust.com - Mural kritik terhadap pemerintah atas berbagai kebijakan penanganan pandemi Covid-19 marak di Kota Solo. Pemkot melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merespon cepat dengan menutup mural dengan menggunakan cat tembok. Beragam reaksi masyarakat timbul atas munculnya berbagai mural tersebut.
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Argyo Demartoto turut angkat bicara terkait maraknya mural kritik terhadap pemerintah. Menurutnya, pemerintah harus paham dengan kondisi yang terjadi di masyarakat saat ini. Setiap kritik maupun aspirasi harus diperhatikan dan ditindalanjuti dengan tepat.
“Pemerintah harus paham. Aspirasi mereka harus didengar, dilaksanakan dan ditindaklanjuti. Makanya Pemerintah harus dapat menginterpretasikan apa makna didalam mural tersebut,” ujar Argyo pada solotrust.com, Senin (30/8).
Lebih lanjut, terkait penangkapan pelaku mural kritik terhadap pemerintah, Argyo menuturkan pemerintah harus responsif menanggapi berbagai kritik. Disisi lain masyarakat juga harus paham aturan yang berlaku. Mural tersebut dianggap menyalahi Peraturan Daerah (Perda) Kota Solo Nomor 10 tahun 2015, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingungan Hidup.
“Kalau ini berupa sebuah kritik atau saran kepada pemerintah, tentu siapa yang dikritik tersebut itu harus memperhatikan. Karena mereka (muralis) juga perlu respon. Pemerintah harus sigap, tanggap, terhadap apa yang diungkapkan dalam mural. Tetapi muralis juga harus memperhatikan pakem (aturan) jika ingin mengungkapkan suatu hal kepada pemerintah,” ungkapnya.
Disisi lain praktisi mural, Irul Hidayat menyatakan mural kritik sudah menjadi hal biasa di negara Demokrasi. Menurutnya baik pemerintah maupun masyarakat dapat membuat mural sebagai media mengemukakan pendapat.
“Sejak dulu mural itu dekat dengan sifatnya propaganda, perlawanan, kemudian, kritik yang bisa dilakukan oleh siapapun, artinya bisa juga oleh pemerintah bisa juga dilakukan oleh lawan pemerintah dalam arti kritik-kritik. Apalagi di negara demokrasi seperti Indonesia itu sangat memungkinkan ketika perbedaan pendapat berupa kritik itu diungkapkan lewat mural,” ujar Irul Selasa (31/8).
Lebih lanjut, lulusan Magister Seni Urban di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini mengatakan kritik melalui media mural sangat efektif dewasa ini. Lokasi yang berada di tengah publik tentu akan menarik perhatian khalayak umum.
“Saya rasa sebuah bentuk seni publik mural sangat efektif untuk media kritik karena mural hadir di ruang publik yang terlihat banyak orang setiap saat setiap waktu,” ucap Irul.
Menurut Irul, penghapusan mural yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada adalah tindakan yang tepat dari pemerintah. Irul menambahkan perilaku merusak menghancurkan dan atau mengganggu properti orang lain itu bisa dikategorikan sebuah vandalisme.
“Saya rasa itu sebagai sebuah peran dan tanggung jawab pemerintah, sebuah hal yang tepat karena pemerintah juga melaksanakan fungsinya. Mestinya juga pemerintah tidak tebang pilih dalam hal bersifat vandalisme. Penghapusan yang hanya menyasar pada graffiti yang bersifat kritik itu menjadikan kesan politis sangat kuat dalam hal ini, ” ujar Irul.
Irul berharap adanya dialog antara pemerintah dengan pelaku seni mural. Diharapkan akan timbul ruang belajar dan kolaborasi antara pemerintah dengan seniman mural.
“Saya berharap akan bagus bila ada dialog antara pemerintah dengan seniman street art itu sangat menarik. Nantinya pasti ada ruang edukasi dan kolaborasi antara pemerintah, seniman dan juga warga. Memang mural sebagai sebuah seni publik itu otomatis akan melibatkan banyak stakeholder kota dalam penciptaannya, esensinya disitu,” tutup Irul. (rois)
(zend)