Hard News

Jadi Penghubung Solo-Sukoharjo, Ini Sejarah Kelam Jembatan Bacem

Jateng & DIY

25 September 2021 11:21 WIB

Jembatan Bacem penghubung Kota Solo dan Kabupaten Sukoharjo menyimpan sejarah kelam di tahun 1965. (Foto: Dok. Solotrust.com/rois)

SUKOHARJO, solotrust.com - Warga Solo atau Sukoharjo tentu tidak asing dengan keberadaan Jembatan Bacem. Sarana penghubung wilayah Kota Solo dengan Kabupaten Sukoharjo ini ternyata memiliki sejarah yang mengerikan.

Jembatan Bacem merekam tragedi para aparat menghabisi terduga anggota atau simpatisan PKI pada tahun1965.



Jembatan Bacem yang melintasi sungai Bengawan Solo menjadi sangat penting sebagai penghubung roda kendaraan militer pada masa itu. Jejak karya Pakubuwono X tersebut masih tampak dengan menyisakan penyangga jembatan (masyarakat menyebutnya “cincim”) yang masih berdiri tegak diatas Sungai Bengawan Solo.

Diceritakan pada Oktober 1965, ada 20 lokasi dijadikan kamp penahanan tawanan di Solo. Di dalam kamp, para tawanan bak mengantri suratan takdir yang akan menghakimi mereka.

Pada malam hari, setiap nama yang dipanggil akan dibawa oleh truk untuk dieksekusi diberbagai tempat, salah satunya di Jembatan Bacem.

Dosen Universitas Sanata Dharma Jogja yang juga pemerhati sejarah Kota Solo, Heri Priyatmoko sempat melakukan observasi terhadap sejumlah warga sekitar lokasi Jembatan Bacem. Mereka mengisahkan setiap malam, kuping mereka bak “dihibur” desing peluru kala algojo beraksi. Tak seorangpun berani ikut campur dalam peristiwa mengerikan tersebut.

“Peristiwa pembantaian terjadi berbulan-bulan lamanya. Alih-alih menonton, para tetangga memilih tutup lawang (pintu, red) karena diterapkan jam malam. Di dalam rumah, hati mereka menangis seraya menghitung jumlah tembakan yang dikeluarkan,” cerita Heri pada Solotrust.com, Jum’at (24/9).

Digambarkan, sungai yang biasa digunakan untuk buang hajat masyarakat, kala itu berubah untuk tempat membuang mayat. Tak ada yang tega menyaksikan manusia tak bernyawa bergelimpangan. Tak berlebihan jika Sungai Bengawan Solo saat itu dijuluki “Kuburan Mengapung”.

“Pernah suatu hari 20 mayat lebih tumpuk undung (menumpuk) di permukaan sungai karena air sungainya dangkal. Lekas saja warga membahu mendorong bangkai manusia yang di-dor (ditembak) itu ke tengah sungai, supaya keli (larut) mengikuti aliran Bengawan Solo. Warga juga diminta aparat menghanyutkan mayat agar baunya tidak menyengat,” imbuh Heri.

Kisah tersebut akan selalu menjadi ingatan pahit bagi masyarakat. Jembatan Bacem yang sejatinya sebagai sarana penghubung roda perekonomian masyarakat, suatu hari harus dipakai ajang pembantaian anak bangsa.(rois)

(zend)