Pend & Budaya

Daerah Istimewa Surakarta, Pernah Ada dan Ditangguhkan karena Gejolak hingga Penculikan Raja

Pend & Budaya

19 Februari 2022 15:23 WIB

7 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah (Jateng), di antaranya: Solo, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten, pernah tergabung dalam Daerah Istimewa Surakarta atau Daerah Istimewa Solo (DIS). (Foto: dok. solotrust.com/dks)

SOLO, solotrust.com – Akhir-akhir ini di media sosial ramai dengan isu pemekaran 9 provinsi di pulau Jawa. Kendati kabar tersebut tidak bisa dijamin kebenarannya, tetapi menarik untuk menilik salah satu dari sembilan provinsi tersebut, yakni Daerah Istimewa Surakarta atau Daerah Istimewa Solo (DIS) yang meliputi: Solo, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten.

Jauh di masa lalu, atau tepatnya pasca kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, wilayah ini (Soloraya atau wilayah eks-karesidenan Surakarta) sebenarnya pernah ditetapkan sebagai daerah dengan status keistimewaan.



Hal tersebut menyusul Maklumat 1 September 1945 oleh Raja Kasunanan Surakarta, Pakubuwono (PB) XII, atau 4 hari sebelum Hamengkubuwono (HB) IX di Jogja mengeluarkan maklumat yang serupa.

Salah satu poin malkumat tersebut berbunyi,“Kami Pakoeboewono XII, Soesoehoenan Negeri Soerakarta-Hadiningrat, jang bersifat keradjaan adalah Istimewa dari Negara Repoeblik Indonesia, dan berdiri di belakang Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia.”

Namun, tak berselang lama, setahun setelahnya status keistimewaan DIS ditangguhkan. Usia DIS hanya seumur jagung.

Gejolak politik, hingga penculikan PB XII dan keluarga kerajaan

Banyak faktor yang melatar-belakangi ditangguhkannya DIS hingga saat ini, salah satunya ialah situasi politik di Solo di masa itu yang dinilai tidak kondusif. Terlebih, kala itu kota tetangga Solo, Jogja ditetapkan sementara sebagai ibu kota negara per- 4 Januari 1946.

Diungkapkan Ketua komunitas pegiat sejarah Solo Societeit, Dani Saptoni, kondisi tersebut membuat Solo diduduki banyak kelompok oposan, sebaliknya Jogja menjadi markas kelompok partisan.

“Waktu itu ibu kota negara di Jogja dihuni kelompok partisan, sedangkan Solo itu tempatnya orang-orang oposisi,” kata Dani ketika ditemui Solotrust.com Rabu (16/2).

Kondisi tersebut memungkinkan gerakan anti-swapraja atau anti feodal berkembang masif di Solo. Ditambah, salah satu tokoh  revolusi Tan Malaka sekitar 1946 juga menetap di Solo. Tokoh berhaluan kiri kelahiran Sumatera Barat itu juga turut menginsipirasi gerakan anti-swapraja di Solo.

Dani mengambarkan situasi di Solo saat itu makin genting, beberapa tokoh inti kerajaan, seperti  Pepatih Dalem Kasunanan Sosrodiningrat V, beberapa keluarga Mangkunegaran, hingga PB XII diculik hingga tiga kali.

“Iklim politik di Solo chaos, bahkan sampai penculikan-penculikan, PB XII sendiri tiga kali diculik. Pejabat kepatihan 9 orang dibunuh, Pepatih Dalem Sosrodiningrat V diculik juga. Terus Dari Mangkunegaran beberapa orang dibunuh,” lanjutnya.

Pemberontakan merembet ke daerah-daerah di DIS, hingga beberapa daerah di Soloraya memisahkan diri dari DIS.

Sebagai tindak lanjut atas situasi tersebut, tokoh pergerakan dari Kasunanan, Wuryadiningrat berkoordinasi dengan pihak Mangkunegaraan mengajukan usulan yang kemudian disampaikan pada Perdana Menteri RI kala itu, Sutan Syahrir pada 22 Mei 1946.

Adapun poin usulannya, pertama, berisi usulan penyerahanan pemerintahan DIS kepada pemerintah pusat. Dan kedua, dana dari pusat untuk DIS mesti disalurkan secara langsung ke pihak DIS, tanpa campur tangan daerah-daerah anggota DIS yang dikhawatirkan justru akan membiayai pemberontakan swapraja.

“Satu menyerahkan status pemerintahan di Solo ini ke pemerintah pusat di Jogja. Kedua, dana bantuan atau dana swapraja dapat diakses langsung oleh Kasunanan dan Mangkunegaran.  Karena ditakutkan akan membiayai pemberontakan,” terang Dani.

Namun Sutan Syahrir hanya menyetujui poin kedua, sedangkan untuk poin pertama menjadi wewenang langsung presiden kala itu, Sukarno.

“Sutan Syahrir menerima poin kedua, tapi untuk poin pertama dia tidak bisa langsung memutuskan karena ini di bawah wewenang pemerintahan pusat,” ungkap Dani.

Kendati tak bisa langsung diputuskan, tak berselang lama, Sukarno mengangkat Gubernur Suryo sebagai wakil pemerintahan daerah Solo 27 Mei 1946.

Setelahnya, pemerintah pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintahan No. 16/SD/1946 tertanggal 15 Juli 1946, yang antara lain menegaskan bahwa untuk sementara waktu daerah Soloraya dijadikan daerah karesidenan.

Hingga kemudian karesidenan juga dicabut dan menjadikan 7 wilayah di Soloraya masuk di bawah langsung Pemerintah Provinsi (Pemrov) Jawa Tengah (Jateng), status keistimewaan Solo masih ditangguhkan hingga saat ini.

Wacana kembalinya DIS pun menjadi isu yang terus bergulir setiap tahun, salah satunya unggahan di media sosial tentang pemekaran 9 wilayah di Jawa yang ramai akhir-akhir ini. (dks)

(zend)