Hard News

Komunisme Tidak Menjadi Momok Generasi Muda?

Sosial dan Politik

28 September 2021 12:25 WIB

ilustrasi gerakan komunisme. (Foto: Shutterstock)

SOLO, solotrust.com - Sepak terjang Partai Komunis Indonesia menjadi salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia di masa lalu. Dimasa Orde Baru bahaya Komunisme selalu ditekankan dan memberikan dampak yang signifikan terhadap citra buruk Komunis dimata masyarakat Indonesia.

Seiring tumbangnya Presiden Soeharto bahaya laten Komunisme mulai memudar digaungkan pemerintah. Hal ini tentu memliki dampak terhadap pemahaman generasi muda mengenai sejarah Partai Komunis Indonesia dan Ideologinya.



Sosiolog Universitas Sebelas Maret Rezza Dian Akbar menjelaskan sejarah memang sesuatu yang penting untuk dipelajari, tetapi bukan hal yang mudah, sebab sejarah tidak pernah bersifat tunggal.

Sebagai sesuatu yang terjadi di masa yang telah berlalu membuat apa yang kemudian saat ini dipahami sebagai narasi tentang ‘sejarah’ sejatinya merupakan sekedar tafsir atau interpretasi manusia dari generasi selanjutnya terhadap apa yang terjadi dimasa sebelumnya.

Ketika sejarah yang dipahami saat ini merupakan tafsir, maka tafsir dominan seringkali merupakan tafsir yang eksis sebagai implikasi dari kemenangan suatu aktor sosial dalam kontestasi memperebutkan dominasi sosial, politik, kultural, bahkan ekonomi, untuk kemudian dominasi tersebut dapat membuat narasi-narasi yang mereka miliki akan menjadi diskursus dominan dalam masyarakat yang seringkali pula dianggap sebagai kebenaran mutlak

Lebih lanjut Rezza menyatakan tanpa disadari penyikapan sangat ditentukan oleh ‘masa’. Makna terpentingnya adalah cara pandang kita terhadap isu ini sangat ditentukan terkait posisi politik seseorang atau suatu kelompok terkait apakah mereka menjadi pemenang ataukah pecundang.

Ketika Orde Baru berjaya, semua orang melihat komunisme sebagai hantu, sebagai momok, bahkan sebagai penyakit sosial yang dilabelkan pada mereka yang patut dan harus disingkirkan. Kini, ketika roda masa berputar dan Orde Baru runtuh maka kebencian kita pada Orde Baru kemudian membuat seolah semua adalah rekayasa Pak Harto dan Orde Baru, lalu PKI mutlak sebagai korban bahkan mungkin pahlawan bagi sebagian orang.

Menurut Rezza cara pandang yang sentimentil dan emosional semacam ini bukan cara pandang yang ideal dalam melihat sejarah. Dalam konteks memahami komunisme dan sejarah pergerakannya di Indonesia.

"Saya kira faktor terpenting untuk menjadi jalan masuknya adalah memahami terlebih dulu pandangan dan gagasan komunisme menurut Marx dan Engels, serta Lenin dan Mao, lalu kemudian melihat bagaimana itu dipraktikkan dan diimplementasikan di banyak negara,” kata Rezza.

Ia menuturkan kita baru bisa beranjak dengan melihat aspek paling rumit dari semua ini setelah memahami apa dan bagaimana komunisme, yaitu menyimak perdebatan dan perbedaan pandangan terkait PKI dan relasinya dengan aktor-aktor politik utama lainnya ketika itu yakni Bung Karno, Angkatan Darat, Pak Harto, serta konstelasi global pada masa itu pula.

Menurutmya telaah yang komprehensif tidak cukup dilakukan pada apa yang terjadi pada 30 September atau 1 Oktober dan sesudahnya sampai 1968. Justru memiliki pengetahuan terkait apa yang terjadi sejak tahun 1955, hingga puncak kegentingan politik Indonesia masa itu sejak tahun 1960-Agustus 1965 menjadi faktor penting yang tidak bisa diabaikan untuk memiliki pengetahuan yang utuh tentang apa yang terjadi pada masa itu. (imam)

(zend)