Hard News

Penyerangan Tokoh Agama Marak, Indikator Kebangkitan Komunisme?

Sosial dan Politik

28 September 2021 16:48 WIB

ilustrasi gerakan komunisme. (Foto: Shutterstock)

SOLO, solotrust.com - Dalam beberapa tahun terakhir kerap terjadi kasus kekerasan dan pembunuhan yang menargetkan tokoh-tokoh agama. Tidak jarang pula kebencian ini diekspresikan  dengan merusak tempat ibadah.

Sikap terburu-buru aparat penegak hukum yang kerap melabeli pelaku kekerasan terhadap pemuka agama sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menjadi kontroversi di kalangan masyarakat.



Kasus terbaru mengenai penyerangan terhadap pemuka agama di Batam serta pembakaran fasilitas tempat ibadah di Makassar menjadi blunder tersendiri dan membuat Menkopolhukam Mahfud MD buka suara. Mahfud meminta aparat penegak hukum untuk tidak terburu buru menetapkan pelaku pembakaran mimbar masjid di Makassar sebagai ODGJ.

Dosen Sosiologi Fisip UNS Rezza Dian Akbar mengungkapkan perkembangan situasi politik nasional di masa ini menunjukkan tensi yang ada di antara kelompok Islam politik dengan negara yang saat ini diisi oleh elite-elite politik dari kelompok nasionalis sebagai kelompok dominan dengan didukung oleh kalangan Islam tradisional.

Bagi sebagian kalangan yang mengalami masa pada tahun 1960an hingga akhir kekuasaan Bung Karno dan naiknya Orde Baru, banyak di antara mereka yang merasa terdapat banyak refleksivitas realita sosial, politik, juga ekonomi di masa tersebut yang tak jauh berbeda dengan situasi saat ini.

Menurut Rezza secara ideologis menjadi hal yang alamiah ketika kelompok komunis dan kelompok Islam berada dalam posisi yang berhadap-hadapan satu dengan yang lain.

"Ketika agama menjadi ajaran yang menyampaikan perintah untuk menyembah Tuhan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan Tuhan dalam kitab suci, komunisme justru menganggap agama sebagai candu yang memanipulasi kesadaran kritis masyarakat untuk menerima penindasan dan alienasi yang mereka terima dari kelas pemilik modal yang difasilitasi oleh negara dan dijustifikasi oleh institusi keagamaan," ungkap Rezza.

Rezza menuturkan pengalaman bangsa Indonesia di tahun 1960an masih menyisakan memori individual ataupun kolektif tentang bagaimana ketegangan di antara kelompok agama, khususnya Islam, dan kelompok komunis yang menjadi representasi politik ideologi masing-masing,yang menghasilkan peristiwa-peristiwa kekerasan berdarah, baik di tahun-tahun setelah 1965 ataupun sebelumnya. Memori itu melekat secara abadi dan hingga saat ini belum sedikit pun hilang dari benak ataupun psikologis mayoritas masyarakat Indonesia.

 

Rezza menyampaikan ketika saat ini rezim yang berkuasa merupakan representasi dari kelompok nasionalis dan didukung oleh kelompok Islam tradisional, mereka yang beroposisi dan berpandangan kritis terhadap rezim ini umumnya berasal dari kalangan Islam modern yang di banyak aspek politik sekaligus juga menjadi pengusung gerakan serta ideologi Islam politik.

Ketidaksetaraan di mata hukum serta represi secara konstan dari penguasa merupakan psikologis yang tertanam dan dirasakan oleh banyak kelompok Islam. Karena itu, memori tentang apa yang terjadi di 1960an awal hingga meletusnya tragedi 1965 dan sesudahnya, menguat kembali bagi banyak kalangan.

Saat ini banyak pihak yang berupaya ‘menenangkan’ psikologis tentang kebangkitan PKI dengan mencoba meyakinkan bahwa PKI telah mati, namun hal itu tidak akan membawa banyak pengaruh yang nyata, menurut Rezza setidaknya terdapat tiga aspek yang menyebabkan partai Komunis sebagai sebuah ideologi tidak akan benar-benar mati.

Pertama, kematian PKI secara formal sama sekali tidak berarti kematian ideologi komunisme. Sebagai sebuah ideologi, komunisme akan terus berkembang, dipelajari, bahkan akan selalu berevolusi secara paham maupun ajaran tentang penerapannya.

Kedua, Rezza menjelaskan meskipun rezim penguasa saat ini merupakan representasi dari kelompok dan ideologi nasionalisme, namun nasionalisme PDIP merupakan ideologi nasionalisme ala Bung Karno yang dibangun dari fondasi paham kiri Marxisme. Belum lagi, sejarah kehidupan dan orientasi politik Bung Karno yang dekat dan berupaya menggabungkan nasionalisme, agama atau Islamisme, dengan komunisme, dalam konsep NASAKOM yang digaungkan kalau itu senyatanya menjadi penanda bahwa ideologi kiri adalah bagian dari diri Bung Karno.

Karena itu, secara historis, ideologis, dan psikologis, PDIP menjadi institusi politik yang memiliki kedekatan dengan ideologi serta kelompok kiri. Realita inilah yang kemudian ditangkap dan dimaknai oleh kelompok Islam bahwa antagonisme dan represi yang mereka yakini mereka terima dari negara merupakan kenyataan politik membuat banyak kalangan dari kelompok Islam meyakini benturan antara mereka dengan kelompok kiri yang saat ini berafiliasi pada pemerintah sebagai realita historis dan ideologis yang mutlak dan pasti akan terjadi.

Ketiga, dalam kacamata Rezza selama psikologis masyarakat, khususnya dari kalangan Islam masih tetap meyakini bahwa terdapat kriminalisasi, persekusi, dan represi oleh negara beserta aparatusnya kepada mereka, maka selama itu pula rasa ketidakadilan ini akan berkoneksi dengan memori tentang benturan mereka dengan kelompok komunisme di tahun 1948 serta di dekade 1960an. Karena itu, asumsi bahwa peristiwa-peristiwa kekerasan ataupun serangan yang menimpa banyak pemuka agama Islam belakangan ini akan makin memperkuat keyakinan mereka bahwa masa di mana mereka akan berhadap-hadapan dengan kelompok kiri kini telah muncul kembali.

Rezza menekankan selama negara tidak bisa menghadirkan rasa aman dan trust dari kelompok Islam bahwa hukum ditegakkan secara adil, tidak ada kriminalisasi dan represi terhadap mereka yang beroposisi secara kritis pada rezim, dan kemudian terdapat kejelasan identitas, motif, aktor intelektual, serta status hukum dari kasus penyerangan terhadap para tokoh pemuka agama Islam, maka trust dari kelompok Islam terhadap pemerintah akan terus berada dalam titik yang rendah.

"Ketika pelaku penyerangan pemuka agama Islam ini lagi dan lagi bebas karena dinyatakan gila atau terganggu kejiwaannya, itu berarti negara sedang secara sadar menghilangkan kepercayaan dari banyak kalangan kritis di masyarakat, dan memperburuk relasinya dengan sebagian kelompok Islam, yang kemudian dengan sendirinya memperburuk tensi yang saat ini sudah ada dan senyatanya makin berkembang ke arah yang tidak menggembirakan hati kita semua," kata Rezza. (imam)

(zend)