SOLO, solotrust.com - Pancasila yang telah menjadi ideologi dan dasar pemikiran kehidupan berbansa dan bernegara sejak pertama Indonesia merdeka. Lima sila yang terdapat dalam Pancasila merepresentasikan cara hidup bangsa Indonesia dalam menjalankan sebuah negara.D alam setiap pemerintahan yang berkuasa seringkali Pancasila digunakan sebagai alat tafsir tunggal untuk menyingkirkan lawan lawan politik.
"Pancasila sebagai dasar negara juga seringkali diatributkan sebagai pandangan hidup (way of life) bangsa. Namun lebih dari itu, Pancasila juga diposisikan sebagai sistem politik dan ekonomi yang berlaku di negeri ini. Setidaknya, demikianlah hal itu diniatkan begitu oleh para pendiri bangsa ini pada awalnya. Semua pemaknaan tersebut secara garis besar kemudian menjadikan Pancasila secara esensial menjadi ideologi yang coba diterapkan di Indonesia, terlepas dari segala ambiguitas ataupun praktik-praktiknya secara riil yang belum ideal," urai Dosen Sosiologi Fisip UNS Rezza Dian Akbar.
Rezza mengungkapkan dalam posisinya sebagai ideologi kemudian Pancasila menjadi teks yang pemahaman serta penerapannya bergantung pada tafsir atau interpretasi dari penafsirnya. Dan kaitannya dengan kekuasaan, maka tafsir atas ideologi tersebut seringkali bergantung kepada siapa yang sedang berkuasa atau dalam posisi dominan.
Rezza mengisahkan Pancasila pada masa Bung Karno ditafsirkan dan terapkan bergantung sepenuhnya pada bagaimana Bung Karno menafsirkannya. Itu sebabnya ketika Bung Karno menjadikan diri beliau sebagai Presiden seumur hidup, mempromosikan paham Nasakom beliau, atau melakukan persekusi terhadap lawan-lawan politik beliau seperti Natsir, Sutan Sjahrir, Mochtar Lubis, ataupun Hamka, nyaris tak ada yang mempersoalkan tafsir politik Bung Karno tersebut atas Pancasila.
Sama halnya dengan ketika Pak Harto dan Orde Baru berkuasa. Pada masa tersebut Orde Baru dijalankan menurut tafsir tunggal Orde Baru sehingga ketika rezim ini berkuasa secara otoriter, Pemilu tidak berjalan secara free and fair, tidak ada equality before the law, tidak ada kebebasan berbicara secara publik, semua itu tetap dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila.
Rezza mengungkapkan apa yang terjadi kini dengan rezim yang berkuasa saat ini juga tidak jauh berbeda. Apa yang terjadi pada masa Orde Bung Karno dan Orde Pak Harto terjadi dengan nyaris sama dengan apa yang terjadi saat ini. Terdapat pelabelan mereka yang kritis dan beroposisi terhadap pemerintah sebagai ‘anti Pancasila’, ‘radikal’, ‘HTI’, ‘FPI’, ‘Kadrun’, atau ‘Taliban’.
"Semua pelabelan tersebut sebenarnya merupakan upaya mengkonstruksikan makna kepada publik melalui diskursus-diskursus politik pemerintah untuk kemudian membenarkan represi dan kriminalisasi pada mereka yang kritis dan beroposisi pada rezim saat ini,"ujar Rezza. (imam)
(zend)