Hard News

Pancasila dan Tafsir Penguasa, Oposisi Jadi Tak Berarti?

Nasional

1 Oktober 2021 12:31 WIB

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Rezza Dian Akbar, SIP. M.Sc

SOLO, solotrust.com - Pancasila sebagai dasar negara juga sering kali diatributkan sebagai pandangan hidup (way of life) bangsa. Namun lebih dari itu, Pancasila juga diposisikan sebagai sistem politik dan ekonomi yang berlaku di negeri ini. Setidaknya, demikianlah hal itu diniatkan begitu oleh para pendiri bangsa ini pada awalnya.

Semua pemaknaan tersebut secara garis besar kemudian menjadikan Pancasila secara esensial menjadi ideologi yang coba diterapkan di Indonesia, terlepas dari segala ambiguitas ataupun praktik-praktiknya secara riil yang belum ideal.



Dalam posisinya sebagai ideologi kemudian Pancasila menjadi teks yang pemahaman serta penerapannya bergantung pada tafsir atau interpretasi dari penafsirnya. Dan kaitannya dengan kekuasaan, maka tafsir atas ideologi tersebut sering kali bergantung kepada siapa yang sedang berkuasa atau dalam posisi dominan.

Pada masa Bung Karno tafsir dan penerapan Pancasila bergantung sepenuhnya pada bagaimana Bung Karno menafsirkannya. Itu sebabnya ketika Bung Karno menjadikan dirinya sebagai presiden seumur hidup, mempromosikan paham Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis), atau melakukan persekusi terhadap lawan-lawan politiknya, seperti Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, Mochtar Lubis, ataupun Hamka, nyaris tak ada yang mempersoalkan tafsir politik Bung Karno tersebut atas Pancasila.

Sama halnya dengan ketika Pak Harto dan Orde Baru berkuasa. Pada masa itu, Orde Baru dijalankan menurut tafsir tunggal Orde Baru sehingga ketika rezim ini berkuasa secara otoriter, Pemilu tidak berjalan secara free and fair, tidak ada equality before the law, tidak ada kebebasan berbicara secara publik, semua itu tetap dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila.

Apa yang terjadi kini dengan rezim yang berkuasa saat ini juga tidak jauh berbeda. Apa yang terjadi pada masa Orde Bung Karno dan Orde Pak Harto terjadi dengan nyaris sama dengan apa yang terjadi saat ini.

Terdapat pelabelan mereka yang kritis dan beroposisi terhadap pemerintah sebagai ‘anti Pancasila’, ‘radikal’, ‘HTI’, ‘FPI’, ‘Kadrun’, atau ‘Taliban’. Semua pelabelan itu sebenarnya merupakan upaya mengkonstruksikan makna kepada publik melalui diskursus-diskursus politik pemerintah untuk kemudian membenarkan represi dan kriminalisasi pada mereka yang kritis dan beroposisi pada rezim saat ini.

*Oleh: Rezza Dian Akbar, SIP. M.Sc. Penulis adalah sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS)

(and_)

Berita Terkait

Berita Lainnya