Solotrust.com - Bos perusahaan media sosial (medsos) seperti Google, Facebook, Twitter, dan TikTok kemungkinan bisa terancam tuntutan pidana jika mereka gagal mematuhi aturan Inggris yang baru saja diusulkan, yang bertujuan untuk memastikan orang aman secara online.
Sebagaimana dikabarkan The Associated Press, Sabtu (19/3), pemerintah Inggris meluncurkan Rancangan Undang-undang (RUU) di Parlemen terkait keamanan online, yang akan memberi regulator kekuatan luas untuk menindak perusahaan media sosial.
Pihak berwenang di Inggris adalah garda depan gerakan global untuk mengendalikan kekuatan platform teknologi dan membuat mereka lebih bertanggung jawab atas materi berbahaya seperti pelecehan seksual terhadap anak, konten rasis, penindasan, penipuan, dan materi berbahaya lainnya yang berkembang biak di platform mereka. Upaya serupa sedang dilakukan di Uni Eropa dan Amerika Serikat
"Meski internet telah mengubah kehidupan orang-orang, namun perusahaan teknologi belum dimintai pertanggungjawaban ketika bahaya, penyalahgunaan, dan perilaku kriminal telah membuat kerusuhan di platform mereka," kata Sekretaris Digital Inggris Nadine Dorries dalam sebuah pernyataan.
"Jika kita gagal bertindak, kita berisiko mengorbankan kesejahteraan dan kepolosan generasi anak-anak yang tak terhitung jumlahnya untuk kekuatan algoritma yang tidak terkendali," tambahnya.
RUU tersebut menghadapi perdebatan di Parlemen, dimana RUU itu dapat diubah sebelum anggota parlemen memilih untuk menyetujuinya sebagai undang-undang.
Pemerintah telah memperketat undang-undang tersebut sejak pertama kali ditulis, setelah komite anggota parlemen merekomendasikan perbaikan.
Perubahan yang ada termasuk memberi pengguna lebih banyak kekuatan untuk memblokir troll anonim, mengharuskan situs porno untuk memverifikasi pengguna berusia 18 tahun ke atas, dan membuat cyberflashing atau mengirim gambar grafis yang tidak diminta kepada seseorang sebagai pelanggaran pidana.
Para bos teknologi tersebut akan bertanggung jawab secara pidana dua bulan setelah undang-undang tersebut berlaku, bukan dua tahun setelahnya seperti yang diusulkan dalam draf asli.
Perusahaan pun dapat didenda hingga 10% dari pendapatan global tahunan mereka karena pelanggaran. Ada juga pelanggaran pidana yang lebih luas yang dapat mengakibatkan hukuman penjara hingga dua tahun dalam draf yang diperbarui.
Awalnya, para eksekutif tersebut akan menghadapi hukuman penjara jika gagal memberikan informasi akurat kepada regulator dengan cepat, yang diperlukan untuk menilai apakah perusahaan mereka mematuhi aturan.
Sekarang, mereka juga akan menghadapinya karena menekan, menghancurkan, atau mengubah informasi yang diminta atau tidak bekerja sama dengan regulator, yang akan memiliki kekuatan untuk memasuki lokasi perusahaan teknologi untuk memeriksa data dan peralatan serta mewawancarai karyawan.
Perusahaan teknologi harus secara proaktif menghapus konten ilegal yang melibatkan pornografi, balas dendam, kejahatan kebencian, penipuan, iklan obat-obatan terlarang atau senjata, promosi atau bantuan bunuh diri, perdagangan manusia dan eksploitasi seksual, di atas materi terorisme dan pelecehan seksual anak yang awalnya diusulkan.
Pemerintah Inggris mengatakan akan menguraikan kategori materi berbahaya tetapi legal yang harus ditangani oleh platform online terbesar seperti Google dan Facebook, alih-alih menyerahkannya kepada keinginan eksekutif internet tersebut.
Upaya perlindungan dari bahaya internet terutama untuk anak-anak juga coba dilakukan di Amerika Serikat. Awal Maret lalu, sebuah konsorsium yang terdiri dari 8 negara bagian Amerika Serikat (AS), sebagaimana dikabarkan AFP, telah mengumumkan penyelidikan bersama terhadap kemungkinan bahaya TikTok bagi pengguna usia muda, yangmana platform itu telah booming popularitasnya di kalangan anak-anak.
Video pendek TikTok menjadi populer di kalangan pengguna anak-anak, memicu kekhawatiran yang meningkat dari orang tua atas potensi anak-anak mereka mengembangkan kebiasaan penggunaan yang tidak sehat atau terpapar konten berbahaya.
Dampak media sosial pada pengguna usia muda berada di bawah pengawasan baru tahun lalu, ketika whistleblower Facebook Frances Haugen membocorkan sejumlah dokumen internal perusahaan yang menimbulkan pertanyaan apakah platform itu memprioritaskan pertumbuhan di atas keselamatan pengguna.
Dokumen-dokumen itu diberikan kepada anggota parlemen, konsorsium jurnalis dan regulator AS oleh Haugen, yang telah menjadi tokoh kritis terhadap platform media sosial terkemuka.
Meski ada serbuan perhatian media tentang masalah ini dan audiensi di hadapan anggota parlemen AS, tidak ada aturan baru yang hampir diberlakukan di tingkat nasional.
Negara-negara bagian malah melanjutkan dengan upaya mereka sendiri untuk melihat ke dalam perusahaan Big Tech, dengan berusaha memaksa perusahaan untuk membuat perubahan pada hal-hal seperti perlindungan privasi.
Misalnya, konsorsium negara bagian AS mengumumkan penyelidikan bersama pada bulan November tentang Meta selaku perusahaan induk Instagram, karena mempromosikan aplikasi kepada anak-anak meskipun diduga mengetahui potensi bahayanya. Instagram memicu kritik keras atas rencananya untuk membuat versi aplikasi berbagi foto untuk pengguna yang lebih muda, tetapi kemudian menghentikan pengembangannya.
(zend)