West Point merupakan akademi militer tertua di Amerika Serikat yang berdiri pada tahun 1802. West Point telah berkembang menjadi institusi dengan beragam pembelajaran pendidikan tinggi, menekankan pertumbuhan akademik, pengembangan kepemimpinan, militer dan pelatihan fisik, serta pengayaan moral dan etika terhadap sekitar 4.000 taruna pria dan wanita.
West Point sukses menghasilkan sejumlah figur penting dalam sejarah kepemimpinan di Amerika Serikat. Di balik kesuksesannya tersebut, muncul pertanyaan penting, apa yang jadi keunggulan West Point dan bagaimana prosesnya ?
Artikel ini membahas tentang proses pengembangan etika dan karakter di Akademi Militer Amerika Serikat di West Point, yang ternyata jadi keunggulan mereka. Kita ingin memahami bagaimana institusi ini melakukan pendekatan pengembangan moral etika melalui penggunaan praktik sumber daya manusia dan juga untuk membedakan apakah praktik mereka dapat diterapkan pada institusi lain. Bagaimana West Point mampu mengintegrasikan praktek Human Resources (HR) konvensional dan inovatif HR dalam program pengembangan moral dan etika. Termasuk di dalamnya rekrutmen, pemilihan, rotasi pekerjaan, dan training untuk mengembangkan karakter masing-masing tarunanya.
Tak hanya itu, West Point juga konsisten dalam menggunakan metode Human Resources Military (HRM) yang lebih progresif, seperti mengelola komunikasi, pembelajaran dalam organisasi, pengembangan institusi, sosialisasi dan juga membentuk budaya dalam organisasi. Tentunya hal-hal di atas tidak hanya bisa diterapkan dalam akademi militer saja, tetapi organisasi lain secara luas.
Misi dari West Point adalah untuk mendidik, melatih, dan menginspirasi Korps Kadet sehingga setiap lulusan adalah pemimpin karakter yang ditugaskan berkomitmen pada nilai-nilai kewajiban, kehormatan negara, profesional sepanjang karir sebagai petugas di Angkatan Darat Amerika Serikat, dan seumur hidup pengabdian tanpa pamrih kepada bangsa.
Setiap investasi dalam pendidikan terletak sepenuhnya pada premis bahwa individu dapat mempelajari. Asumsi yang mendasarinya adalah nilai, kehormatan, integritas, dan etika dapat dipelajari. Tidak heran, individu/organisasi yang gagal untuk menerima asumsi mendasar ini adalah kecil kemungkinannya untuk berinvestasi dalam pendidikan karakter.
Hasil dari satu penelitian di West Point menunjukkan, salah satu anggota staf West Point mengatakan, ketika seseorang lahir, dia tidak berpikir bahwa mereka tau tentang etika. Ketika mereka dibesarkan, mereka diajar oleh lingkungan, oleh harapan, dan penegakannya. West Point membangun budaya yang kuat pertama-tama untuk memperbaiki komponen atau fondasi etika dan moral dari organisasi. Setelah moral budaya dan etika tertanam kuat, West Point kemudian akan fokus pada kinerja.
Hal ini penting karena banyak organisasi mungkin cenderung untuk menempatkan kinerja sebelum etika dalam membangun budaya mereka. Namun, perhatikanlah bahwa budaya yang kuat tidak selalu berkontribusi positif pada tim atau organisasi atau bermanfaat hasil. Bahkan, beberapa berpendapat bahwa kuat budaya yang berfokus secara eksklusif pada kinerja sebenarnya dan ironisnya berkontribusi pada budaya korupsi (Anand et al., 2004).
Salah satu tujuan utama West Point adalah mempersiapkan para pemuda dan pemudi untuk menghadapi tantangan etis yang ada di medan perang. Contohnya, dari salah satu film terkenal, Blackhawk Down. Ketika kita melihat ada anak-anak di sebuah medan perang, mata mereka sama seperti mata anak-anak kita, begitu pula hati kita. Hati kecilnya berkata, bagaimana dia dapat membantu dua serdadu Amerika yang dikepung pasukan Somalia ? Tapi di dalam kerumunan itu, seseorang menembakinya. Dan keputusan rumit pun harus dibuat untuk segera lepas dari masalah tersebut.
Di sinilah tugas dari kepemimpinan, bagaimana cara menghadapi hal rumit. Sistem kepemimpinan di West Point tampaknya mengedepankan kesederhanaan di dalam hal yang kompleks/rumit. Dari sistem pengembangan kehormatan di West Point, kita dapat melihat bahwa ketika berurusan dengan situasi yang kompleks dan dinamis, kita harus menekankan pada kesederhanaan. Contoh, dalam membuat kode kehormatan, akademi militer ini menggunakan pesan yang tegas dan jelas, sederhana dan tanpa jargon-jargon. Hal ini dibutuhkan dalam kesuksesan program moral dan etika, dan memberikan landasan untuk pengambilan keputusan dan perilaku etis.
West Point mengedepankan kampanye komunikasi aktif untuk mengurangi ketidaktahuan etis. Kampanye ini sangat penting mengingat asumsi bahwa pria dan wanita muda yang memasuki West Point berasal dari berbagai lingkungan, beberapa di antaranya mungkin tidak memiliki karakter, etika, atau kehormatan. Mereka membuat Hip Pocket Values Education Guide, sebuah buklet yang bentuknya disesuaikan dengan ukuran kantong kadet. Isinya tentang pengetahuan dasar, melalui identifikasi dan definisi kunci.
West Point membangun fondasi etika ini untuk meningkatkan kecanggihan kesadaran moral-etika kadet dalam membuat keputusan. Secara khusus, ada yang dinamakan Cadet Leadership Development System (CLDS), yakni cara untuk menguji efektivitas Sistem Kehormatan di West Point. Inti dari CLDS adalah untuk memperluas secara progresif ruang lingkup tanggung jawab bagi kadet yang diajukan. Tujuan ini biasanya dicapai dengan menempatkan kadet dalam situasi nyata di Angkatan Darat yang memungkinkan kadet senior untuk memimpin rekan-rekan dan kadet junior mereka.
Juga ditemukan bahwa adanya puncak kepemimpinan sebagai dampak keberhasilan program pengembangan moral-etika di West Point. Misalnya, dalam 15 tahun terakhir, alumni West Point seperti pelatih bola basket Mike Krzyzewski dari Duke University dan Jenderal Norman Schwarzkopf telah kembali untuk berbicara tentang kepemimpinan dan peran kehormatan serta etika untuk menjadi pemimpin besar. Selain itu, Presiden George Bush, Bill Clinton, dan George W. Bush juga telah berbicara dengan Korps Kadet tentang isu-isu seperti integritas dan nilai-nilai pentingnya mereka di West Point. Dengan demikian, tampaknya kepemimpinan senior baik di dalam maupun di luar West Point telah efektif dalam pengaturan agenda di semua tingkat organisasi.
Implikasi dari Model West Point untuk Organisasi Lain
Ada beberapa acuan praktis dari analisis tentang sistem kehormatan West Point. Yang penting, Human Resources Military (HRM) bisa bermain dalam peran instrumental melalui inti kebijakan HR dan praktik tertentu untuk menginformasikan dan meningkatkan iklim moral-etika organisasi. Di sini, HRM dapat menggunakan program orientasi dan sosialisasi yang kuat untuk membangun landasan etika. Dengan demikian, HRM dapat menyediakan manajer untuk mengelola problem etika sederhana hingga kompleks.
Ingin mematangkan proses moral-etika di institusi/organisasi anda ? West Point salah satu referensinya.
Oleh: Anthonius Jimmy Silalahi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trilogi Jakarta
(Wd)