SOLO, solotrust.com - Indonesia tengah serius menyusun sistem perekonomian global dengan melarang ekspor nikel, timah, dan bauksit. Rancangan itu dibahas dalam pertemuan Trade, Investment, and Industry Working Group (TIIWG) G20 kedua di Solo.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan pelarangan ini merupakan upaya hilirisasi alias pemurnian sumber daya alam untuk menjadi bahan setengah jadi dan jadi.
Dalam waktu dekat, Indonesia akan menyetop ekspor bauksit dan timah. Sementara pihaknya juga akan memperjuangkan pelarangan nikel.
"Nikel harus kita perjuangkan. Tahun ini kita akan menyetop bauksit, melarang ekspor bauksit. Tahun depan kita melarang timah," ujarnya kepada awak media usai TIIWG di Hotel Alila, Solo, Selasa (6/7) siang.
Terlebih bagi timah, Indonesia menjadi penghasil timah terbesar kedua setelah Tiongkok. Berdasarkan Komoditas Mineral yang diterbitkan U.S. Geological Survey pada Januari 2021 Indonesia memproduksi 66.000 ton timah pada 2020.
Namun, Indonesia justru menjadi pengekspor timah terbesar dunia. Terlebih, Indonesia baru melakukan hilirisasi timah tak lebih dari 5 persen.
"Tapi untuk ekspor timah terbesar di dunia itu indonesia, kita baru melakukan hilirisasi tidak lebih dari 5 persen, berapa kehilangan yang akan terjadi di negara kita," tuturnya.
Sementara Indonesia juga memperjuangkan pelarangan ekspor bauksit kendati tak masuk dalam lima besar penghasil bauksit dunia. Berdasarkan sumber yang sama negara penghasil bauksit terbesar di dunia pada 2021 adalah Australia, dengan produksi mencapai 110 juta metrik ton.
Hal ini diperjuangkan demi ekonomi yang berkelanjutan, terutama dengan mempertimbangkan aspek lingkungan.
Sementara itu, produksi nikel Indonesia menjadi yang terbesar dunia di mana dari data United States Geological Survei (USGS) Amerika Serikat, produksi nikel Indonesia mencapai angka 1 juta metrik ton pada tahun 2021 lalu.
"Lingkungan itu bisa kita jaga kalau tidak penambangan liar terus terjadi. Penambangan yang tidak bisa mengukur volume kapasitas produksi kita, ini bahaya," katanya.
Ia berharap kebijakan-kebijakan yang akan disusun ini akan menjadi solusi yang dapat saling menguntungkan.
"Kita pengen ada kolaborasi positif yang menguntungkan yang win win kepada semua negara," tukasnya. (dks)
(zend)