SOLO, solotrust.com - Lewat karya berjudul "Indonesia's Changing Political Economy Governing the Roads" yang diterbitkan pada 2019 lalu, Jamie S Davidson menuliskan kontras pandangan demokrasi masyarakat sejak masa orde baru.
Buku tersebut diterjemahkan oleh Wisnu Prasetyo Utomo dan terbit pada 2022 dengan tajuk "Demokrasi Indonesia Pasca-Orba: Antara Inovasi, Stagnasi, dan Polarisasi". Buku ini kembali mengingatkan jejak demokrasi pemerintahan Indonesia sejak pemerintahan Soeharto lalu.
Jika dipadukan dengan pemerintahan dan kondisi masyarakat masa kini, orba memiliki kontras yang begitu berbeda. Yayasan Suluh Demokrasi Indonesia (SDI) tertarik untuk mengupas karya ini menjadi pengingat kembali potret demokrasi Indonesia menurut Jamie.
"Ini bagian dari kajian yang mestinya bisa menjadi semacam pengingat bahwa kita demokrasi kita itu tidak baik-baik saja," papar Ichwan Prasetyo, anggota Aliensi Jurnalisme Independen (AJI) Solo pada acara bedah buku "Demokrasi Indonesia Pasca-Orba: Antara Inovasi, Stagnasi, dan Polarisasi" yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (20/8).
Jika ditilik lebih dalam, demokrasi harusnya menjadi diskusi yang dimulai dari masyarakat bawah, bukan dari penguasa politik. Ia mencontohkan masa dikeluarkannya UU Cipta Kerja pada tahun 2020 lalu yang memicu gejolak masyarakat, lantaran dinilai memarjinalkan tenaga kerja atas keterlibatan demokrasi.
"Ini menjadi sebuah catatan bahwa membangun demokrasi itu meniscayakan dialog dari bawah, kemudian menjadi diskusi berkelanjutan yang dimulai dari bawah. Bukan ditentukan oleh kekuasaan, bukan ditentukan oleh undang-undang, bukan ditentukan oleh kekuatan politik dominan. Kekuatan politik dominan harus melihat dinamika yang terjadi di masyarakat," lanjutnya.
Pada acara yang sama, dosen Fakultas Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS), Akhmad Ramdhon menyebut beberapa poin penting menjadi kritik demokrasi selama dua dekade terakhir.
"Buku ini penting untuk melihat dan mengevaluasi praktik praktik demokrasi selama 2 dekade terakhir itu yang pertama catatan terkait inovasi hadir, stagnasi didokumentasikan, dan polarisasi menjadi imbas, maka ini menjadi poin untuk merefleksikan kerja demokrasi kedepan," ungkap Akhmad.
Dekade ke tiga, menurutnya menjadi PR bagi Indonesia untuk membenahi makna dan implementasi demokrasi.
"Menurut saya yang paling penting adalah kita memasuki dekade ke tiga praktek demokrasi, baik tingkat pusat maupun tingkat lokal. Kemudian menjadi pelajaran bagi kita untuk mendorong demokrasi tetap jalan dan secara bersamaan untuk memperbaiki demokrasi dari sisi kualitas," lanjutnya.
Sementara itu, Komisioner Bawaslu Kabupaten Sukoharjo, Rochmad Basuki yang juga menjadi narasumber menyoroti kritik bagi penyelenggara demokrasi yang tertoreh pada kajian ini.
"Ada semacam pesimisme dari konteks ini dalam demokrasi Indonesia terkait dengan apa yang terjadi dengan kondisi fakta seperti ini. Saya beranggapan ini sebagai bentuk kritik terhadap demokrasi Indonesia, sehingga nanti kedepannya kami sebagai penyelenggara (pemilu), mencatat bagaimana membuat demokrasi itu lebih berkualitas dan lebih bermartabat," ungkap Rochmad.
Proses demokrasi di Indonesia, menurut Binsar Siregar, Ketua SDI, juga perlu dilaksanakan dari berbagai aspek agar tercapai tujuan demokrasi.
"Bagaimana memaknai demokrasi sebagai pola berkesinambungan, jadi demokrasi harus terus didiskusikan dalam diskusi diskusi publik, baik dikampus, masyarakat, lembaga penyelenggara negara, hingga Bawaslu. Sehingga gagasan gagasan demokrasi tidak hanya dikooptasi oleh golongan atau kelompok saja tapi terus dibicarakan mengalami perubahan gagasan," ungkap Binsar.
Lantas buku ini menggiring berbagai pertanyaan kondisi demokrasi pasca dua dekade berlalu. Wawasan literasi pemuda mengenai demokrasi juga ikut 'tersentil', lantaran kekurangpahaman atas demokrasi mengakibatkan dampak politik yang besar. (riz/els)
(zend)