Pend & Budaya

Sebelum Meninggal, Ini Penelitian Terakhir Prof Wiryanto

Pend & Budaya

30 Maret 2018 11:51 WIB

Prof Dr Wiryanto saat dikukuhkan sebagai guru besar, Kamis (29/3/2018) siang. (solotrust.com/mia)

SOLO, solotrust.com – Suasana duka seketika menyelimuti jajaran civitas akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Guru besar UNS ke-191 Prof Dr Wiryanto, meninggal dunia usai prosesi pengukuhannya di Auditorium UNS, Kamis (29/3/2018). Wiryanto meninggal pada usia ke-64 tahun.

Tak ada yang mengira, pasalnya saat pengukuhan, Wiryanto terlihat penuh semangat. Bahkan beberapa waktu sebelumnya, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) itu sempat membuat sebuah penelitian.



Baca juga : Usai Dikukuhkan sebagai Guru Besar UNS, Prof Wiryanto Meninggal Dunia

Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Berbasis Kearifan Lokal, menjadi penelitian terakhir Wiryanto semasa hidupnya. Penelitian tersebut membahas mengenai air yang merupakan salah satu kebutuhan pokok makhluk hidup di muka bumi ini.

Tanpa air, baik manusia, tumbuhan maupun binatang tak akan mampu bertahan hidup. Namun masalahnya sekarang ini, banyak aliran sungai di Indonesia yang tercemar berat. Hal itu disebutnya, berdampak buruk bagi makhluk hidup di sekitarnya.

Berdasarkan data terbaru Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, sebanyak 52 sungai di Indonesia tercemar berat. Kemudian 20 aliran sungai berstatus tercemar sedang hingga cemar berat. Sisanya, 21 sungai berstatus memenuhi kualitas air hingga tercemar ringan. Perolehan tersebut didapat dari pemantauan 100 sungai utama di Indonesia pada rentang 2010-2016.

“Sungguh memprihatinkan bahwa sudah jarang ditemukan sungai dengan kualitas air yang memenuhi syarat. Padahal, pada 2010, masih didapati 28,31 persen sungai dengan kualitas air memenuhi. Kini, hanya tinggal sekitar 21 persen. Ini menunjukkan bahwa kualitas air permukaan di Indonesia terus mengalami penurunan. Jika ini terus dibiarkan, maka Indonesia berpotensi langka air bersih,” tulis Wiryanto dalam rilis pengukuhan guru besarnya.

Menyadari hal tersebut, Wiryanto membuat sebuah penelitian sederhana namun bermanfaat besar bagi khalayak luas. Penelitian ini lah yang mengantarkan beliau menjadi Guru Besar UNS, sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir.

Baca juga : Nyaris Pensiun, Prof Wiryanto Terharu Dikukuhkan Sebagai Guru Besar UNS

Dalam penelitiannya, Wiryanto berupaya memberikan solusi bagaimana menjaga kualitas sumber daya air tawar dengan menggunakan kearifan lokal atau nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat. Dia mencontohkan, Kahyangan, objek wisata di Desa Dlepih-Tirtomoyo, Wonogiri yang masih dilestarikan. Dengan terpeliharanya kearifan lokal di desa tersebut, sumber air di Kahyangan masih terjaga kualitasnya.

Menurut Wiryanto, kearifan lokal terdiri atas dua sifat yaitu dapat diakses publik dan bersifat rahasia serta dipegang teguh. Kearifan lokal muncul dari proses internalisasi panjang dan turun temurun, yang kemudian terkristalisasi dalam bentuk hukum adat, kepercayaan, dan budaya setempat.

Wiryanto kembali memberi pembelajaran dari masa lalu, di mana Raja Mataram Sultan Agung (1631-1645) pernah menerapkan pembangunan berfalsafah "Hamemayu Hayuning Bawana" yang menegaskan bahwa manusia harus hidup harmoni dengan sesama manusia, alam, dan Tuhannya.

Dalam proses internalisasi konsep tersebut, para tokoh agama memiliki peranan penting. Misalkan seperti yang dilakukan oleh lima kiai di Pulau Madura yaitu Kiai Anas, Kiai Farid, Kiai Sihab, Kiai Supriati, dan Kiai Hasbiah yang melarang para muridnya merusak hutan yang ada di sekitar tempat tinggal. "Sebab, untuk menjalankan salat, mereka butuh air. Agar air tetap ada, maka hutan harus tetap lestari guna mata air terus mengalir," terangnya.

Penerapan kearifan lokal ini telah terbukti dapat mewariskan alam dengan baik. Dari situ lah, Wiryanto menyarankan agar mereposisi dan merevitalisasi penegakan hukum lingkungan yang berbudaya. Agar berjalan baik, perlu dukungan "Panca Wangsa", yaitu Pemerintah Pusat/Daerah (Pemimpin), Pakar (cendekiawan, rohaniawan, dan budayawan), Media Massa (wartawan, media cetak, dan elektronik), Dunia Usaha (hartawan), dan Masyarakat (rakyat). (mia)

(way)