JAKARTA, solotrust.com – Menindaklanjuti temuan parasit cacing pada ikan makarel dalam kaleng, BPOM RI bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian secara sinergis telah melakukan audit komprehensif. Masyarakat pun diimbau tak perlu takut mengonsumsi produk ikan dalam kaleng.
Berdasarkan hasil audit komprehensif diketahui parasit cacing merupakan cacing laut jenis Anisakis, bukan cacing pita. Berasal dari bahan baku ikan makarel di laut, diperoleh lewat jalan impor. Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melakukan langkah pencegahan, di antaranya dengan pemeriksaan lebih intensif terhadap fenomena alam memengaruhi kualitas bahan baku ikan makarel.
Kepala BPOM RI, Penny K Lukito, menyatakan pihaknya terus memantau proses penarikan berdasarkan kode produksi (bets) terdampak parasit cacing yang dilakukan pelaku usaha. Dipastikan seluruh bets produk ikan makarel dalam kaleng sudah dalam proses penarikan oleh pelaku usaha dan dalam pengawasan BPOM RI. Hal itu telah diverifikasi dalam joint inspection bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perindustrian sampai dinyatakan selesai dan memenuhi ketentuan berlaku.
“Masyarakat tidak perlu khawatir dengan produk ikan makarel dalam kaleng yang beredar karena proses penarikan produk ikan makarel kaleng dari kode produksi tertentu tersebut telah dikawal seluruh pemangku kepentingan. Masyarakat juga tidak perlu takut untuk mengonsumsi produk ikan dalam kaleng. Pemerintah dan pelaku usaha akan memastikan produk yang tidak memenuhi syarat tidak lagi beredar di masyarakat,” jelasnya, dilansir dari laman resmi BPOM RI, pom.go.id, Jumat (06/04/2018).
Lebih jauh Kepala BPOM RI menyampaikan, temuan parasit cacing menjadi pembelajaran bersama. Sebagai regulator, BPOM akan terus meningkatkan efektivitas pengawasan. Di sisi lain, pelaku usaha akan memperbaiki dan meningkatkan profesionalisme dalam keamanan dan mutu produk.
“Masyarakat sebagai konsumen dapat berperan aktif dalam pengawasan obat dan makanan dengan melaporkan jika menemukan produk yang bermasalah,” pungkas Penny K Lukito.
(and)