SOLO, solotrust.com - Tumpukan buku terlihat ditata dengan rapi di atas meja, bahkan trotoar ketika kita memasuki kawasan Taman Buku dan Majalah Keraton Surakarta. Bau buku-buku usang tercium cukup tajam menusuk hidung. Menurut sebagian orang, bau buku usang terasa begitu menenangkan.
Taman Buku dan Majalah Keraton Surakarta memang menjadi salah satu tempat yang disukai para pecinta buku. Banyak buku ditawarkan di sini, mulai dari ekonomi, politik, pelajaran, bahkan novel-novel pun ditata dengan rapi oleh penjual. Buku yang ditawarkan pun memiliki harga bervaiasi, mulai dari Rp5000 hingga puluhan ribu, bahkan ratusan ribu.
“Mari, cari buku apa?” Suara para penjual ketika melihat pengunjung melewati kios mereka. Suara lembut dan senyum ramah akan selalu terpasang di bibir mereka tanpa mengenal rasa lelah.
Hal ini mereka lakukan guna menarik perhatian para pengunjung. Dengan keramahan itu, tak jarang pengunjung mampir ke kios, walau hanya sekadar melihat-lihat saja.
Ketika kita memegang buku yang dipajang, tak jarang dua kata akan terlintas di pikiran, kotor dan berdebu. Ya, wajar saja, namanya juga buku bekas. Meskipun demikian, beberapa kios juga menyediakan buku-buku baru masih tersegel rapi.
Ketika
solotrust.com bertanya dari mana asal buku-buku lama didapatkan, salah satu penjual buku yang sudah menekuni usaha sejak 1999, Emy Pratiwi (51), mengatakan buku lama biasa dia dapatkan hasil dari berkeliling dari kota ke kota.
“Kami kan cari buku. Kami cari keliling, terus kadang-kadang ada yang jual ke sini,” ujar Emy Pratiwi.
“Itu kan ada tempat penampungan yang (jual) barang-barang apa itu, bekas yang ditampung kan ada buku, ada apa ya. Kami karena jualan buku, kami belinya buku, kertas,” lanjutnya.
Emy Pratiwi mengatakan, penghasilannya sudah mulai merosot semenjak wabah Covid-19. Ditambah adanya media sosial (Medsos) dan online membuat penghasilan semakin menurun setiap tahunnya.
“Zaman digitalisasi bukan meningkat (daya beli buku lama), malah merosot. Kalau sebelum corona (Covid-19) itu, malah sebelum ada medsos atau online itu, malah itu buku sangat dibutuhkan. Kalau sekarang, orang udah carinya ke handphone,” jelasnya.
Adapun untuk dapat bersaing dengan penjual buku di e-commerce, Emy Pratiwi akan menjadikan e-commerce sebagai patokan menentukan harga.
“Kami kan kadang-kadang panduannya di online ada, tapi kami tetep jualnya di bawah harga online,” ucap dia.
Selain karena adanya media sosial dan e-commerce, rendahnya minat baca menjadi salah satu faktor utama menurunnya penghasilan para penjual buku. Emy Pratiwi berharap agar para generasi muda Indonesia dapat menumbukan minat bacanya.
“Harapan saya, di kampus-kampus atau anak muda zaman sekarang, tolong tumbuhkan minat bacamu. Indonesia itu negara besar, tapi minat bacanya kecil,” harapnya.
Tetap Eksis di Kalangan Kolektor
Taman Buku dan Majalah Keraton Surakarta memang menjadi tempat para kolektor buku-buku lama. Seperti halnya yang dilakukan Rahma (43).
Dia rutin mampir ke Taman Buku dan Majalah Keraton Surakarta tiap minggunya untuk mencari buku-buku lama. Baginya, buku-buku lama memiliki daya tarik m berbeda.
“Buku-buku lama itu ya unik aja. Untuk saya, mungkin gambar-gambarnya lucu gitu. Model-modlenya kan beda, printernya beda dari yang sekarang,” jelas Rahma.
“Jarang sih saya baca buku lawas itu. Ya itu aja lebih seneng ke uniknya aja, kalau lawas itu mungkin buat dikelsi kayak gitu. Lebih unik aja,” pungkasnya.
*) Reporter: Nur Indah Setyaningrum/Rimadhiana
(and_)