Pend & Budaya

Menelusuri Pesona Batik di Alila Solo lewat Cerita Wastra

Pend & Budaya

3 Oktober 2024 10:32 WIB

Ninik Dyahningrum Joesoef berbagi kisah tentang pameran batik bertajuk Cerita Wastra, Rabu (02/10/2024)

SOLO, solotrust.com - Setiap helai kain batik menyimpan sejarah abadi. Setiap motif dan goresan canting menceritakan kisah budaya yang kaya. Kali ini cerita itu dihidupkan dalam pameran eksklusif bertajuk 'Cerita Wastra'.

Pameran ini menampilkan koleksi batik milik Ninik Dyahningrum Joesoef yang penuh nilai sejarah dan kenangan. Pameran ini diadakan di Alila Solo selama tiga hari, yakni Rabu hingga Jumat (02-04/10/2024), bertepatan dengan peringatan Hari Batik Nasional. Para pengunjung dapat menikmati keindahan serta menggali makna dari setiap kain yang dipajang di mana tiap motif menyimpan kisah yang kaya nilai sejarah.



Ninik Dyahningrum Joesoef berbagi bahwa ide pameran ini sebenarnya lahir dari keinginan sederhana, yakni membuat peringatan Hari Batik Nasional untuk tim hotel.

“Awalnya hanya ingin buat kegiatan kecil, tapi idenya berkembang. Kami lalu membuat konsep pameran dengan memajang batik-batik di dinding. Kebetulan saya punya teman kurator yang membantu dan jadilah pameran ini,” ungkapnya, Rabu (02/10/2024).

Pameran menampilkan total 22 wastra dengan 16 kain batik dipamerkan di dinding, serta enam kain dibawakan penari peragawati. Berbeda dari fashion show, para penari membawa kain-kain tersebut dengan tarian menghibur, menghadirkan suasana intim dan hangat.

Salah satu koleksi paling berkesan bagi Ninik Dyahningrum Joesoef adalah Batik Pengsi Lereng Buntal. Kain ini bukan hanya sekadar selembar batik, melainkan membawa kenangan indah bersama sang ibu.

“Batik itu dibeli ibu saya dengan cara menyicil. Dulu ada bakul batik keliling dan ternyata cicilannya belum lunas, tapi sudah saya bawa ke Jogja waktu kuliah, dan saya pakai untuk selimut. Kenangan itu yang membuatnya sangat berharga,” cerita Ninik Dyahningrum Joesoef.

Selain itu, ada pula Batik Sudagaran yang penuh detail dan motif rumit, salah satu karya pengerjaannya memakan waktu lama dan baru disadari Ninik Dyahningrum Joesoef betapa rumitnya saat ia mulai mengumpulkan batik pada 1990-an.

Sebagai seorang pecinta batik, ia turut menyoroti betapa berharganya proses pembuatan batik.

“Dulu orang membuat batik pakai olah rasa, kadang mereka berpuasa. Pengerjaannya bisa enam bulan sampai satu tahun. Sekarang, batik lebih ke industri, cepat dijual, dan pembatik lama sudah sangat sulit ditemui,” ujarnya dengan nada penuh keprihatinan.

Kendati ini adalah pameran pertamanya, antusiasme pengunjung membuat Ninik Dyahningrum Joesoef terkejut.

“Saya tidak menyangka responsnya sehebat ini, membuat saya terharu dan bangga,” kata dia.

Sebagai pesan penutup, Ninik Dyahningrum Joesoef memberikan pesan untuk mencintai batik seperti mencintai diri sendiri.

“Cintailah batik seperti kamu mencintai dirimu sendiri,” pesannya. (add)

(and_)