JAKARTA, solotrust.com - Kejadian cuaca ekstrem di beberapa daerah seperti hujan disertai puting beliung di Yogyakarta dan Minahasa, banjir di Cilegon dan Bumi Ayu pada saat musim peralihan dari penghujan menuju kemarau, tak pelak menimbulkan banyak pertanyaan masyarakat.
Terkait itu, Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Herizal, menjelaskan berkembangnya aktifitas cuaca beberapa hari terakhir di sejumlah wilayah akibat pengaruh dinamika cuaca lokal. Selain itu, giatnya aktifitas cuaca juga didukung aktifnya aliran massa udara basah, lebih dikenal dengan fenomena skala regional Madden Julian Oscilation(MJO) atau fenomena gelombang atmosfer tropis yang merambat ke arah Timur dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik.
“MJO memiliki siklus perambatan 30 hingga 90 hari dan dapat bertahan pada suatu fase (lokasi perambatan yang digambarkan dalam kuadran) sekitar tiga sampai sepuluh hari,” tambahnya, dilansir dari laman resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, bmkg.go.id, Jumat (27/04/2018).
Saat ini, diungkapkan Herizal lebih lanjut, fase basah (konvektif) MJO terpantau sudah berada di kuadran empat, wilayah Benua Maritim Indonesia. MJO fase ini memberi pengaruh dalam meningkatkan suplai uap air yang berkontribusi pada pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia bagian Barat hingga tengah.
“MJO kali ini juga berkaitan dengan berkembangnya banyak pusaran di sekitar wilayah Indonesia. Hal itu memicu pemusatan massa udara dan jalur pertemuan angin (konvergensi) yang dapat menimbulkan pertumbuhan awan signifikan,” imbuh dia.
Sementara dari sisi iklim, kehadiran MJO ini dapat meredam suhu panas dan hari-hari kering di beberapa daerah yang sudah memasuki musim kemarau. Kendati demikian, hal itu tidak berarti musim kemarau menjadi gagal atau tertunda.
“MJO diperkirakan aktif hingga awal Mei nanti. Setelah itu kondisi atmosfer akan kembali cenderung kering, musim kemarau diperkirakan dominan di semua tempat di Pulau Jawa," pungkas Herizal.
(and)