JAKARTA- Bahan bakar hasil pencampuran solar dengan 20 persen biodiesel atau biasa disebut B20, kini mulai dikenal luas masyarakat seiring dengan diterapkannya kewajiban penggunaan B20 mulai 1 September 2018. Biodiesel B20 dikenal pula sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan.
Itulah mengapa Indonesia dan banyak negara di dunia ini menerapkan kebijakan mandatori biodiesel. Persentase campuran bahan bakar nabati pada ketentuan mandatori itu memang berbeda-beda. Malaysia misalnya, berencana menerapkan mandatori B10. Sedangkan Indonesia sudah jauh di depan dengan menerapkan B20.
Banyak keuntungan yang diperoleh dari penggunaan B20. Selain penghematan devisa, kualitas lingkungan juga bisa lebih terjaga. Penggunaan biodiesel sudah terbukti dapat meningkatkan kualitas lingkungan, karena bersifat degradable (mudah terurai) dan emisi yang dikeluarkan lebih rendah dari emisi hasil pembakaran bahan bakar fosil.
Secara umum penggunaan biodiesel akan menurunkan kadar emisi gas buang. Emisi gas buang menurun secara konsisten dengan kadar campuran biodiesel yang semakin besar, namun demikian karakteristiknya bervariasi tergantung dari jenis emisinya.
Berdasarkan hasil Laporan Kajian dan Uji Pemanfaatan Biodiesel 20% (B20) yang dilakukan oleh Ditjen Eenergi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (BTKE) Kementerian ESDM bersama beberapa stakeholder terkait pada tahun 2014, diperoleh hasil uji emisi yang sangat menggembirakan.
Pertama, kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi CO yang lebih rendah dibandingkan kendaraan yang tidak menggunakan biodiesel. Hal ini dipengaruhi oleh lebih tingginya angka cetane dan kandungan oksigen dalam B20, sehingga mendorong terjadinya pembakaran yang lebih sempurna.
Kedua, kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi Total Hydrocarbon (THC) yang lebih rendah dibandingkan kendaraan tanpa biodiesel. Hal ini disebabkan pembakaran yang lebih baik pada kendaraan B20, sehingga dapat menekan emisi THC yang dihasilkan.
Bahkan biodiesel berbahan dasar sawit seperti yang digunakan di Indonesia, jauh lebih menguntungkan lingkungan ketimbang biodiesel berbahan dasar nabati lain. Riset yang dilakukan European Commsission Joint Research Centre pada 2015 mengungkapkan, biodiesel berbahan dasar sawit mampu menekan intensitas karbon hingga 62% dibandingkan biodiesel berbahan dasar bukan sawit. Biodiesel dari bunga matahari mampu mengurangi intensitas karbon hingga 58%, biodiesel dari biji rapa (rapeseed) 45%, dan biodiesel dari kedelai sebesar 40%.
Karena itu, penggunaan B20 di Indonesia sekaligus juga untuk mengurangi efek gas rumah kaca, sebagaimana dicanangkan dalam Rencana Energi Nasional pada 2014. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat, dampak biodiesel terhadap penurunan efek rumah kaca telah mencapai 8,79 juta ton CO2e pada periode Agustus 2015 hingga april 2018.
Selain itu, penerapan kebijakan biodiesel juga untuk mendukung komitmen Indonesia pada Conference of the Parties (CoP) 21 di Paris, untuk memenuhi target nasional pengurangan emisi sebesar 29% (unconditional) dan 41% (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030. Tanpa penerapan kebijakan biodiesel ini, Indonesia sulit memenuhi komitmen tersebut. #teras.id
(wd)