SOLO, solotrust.com- Meski mengakui kondisi ritel menurun, namun Alfamidi masih optimis akan potensi pasar di Indonesia khususnya luar pulau Jawa.
Corporate Communication Manager Alfamidi, Arif Nursandi, menerangkan kuota pembukaan toko di daerah perkotaan di Jawa hampir penuh.
Untuk itu, pihaknya gencar melakukan ekspansi di daerah luar pulau Jawa, seperti Sumatra hingga Sulawesi.
"Jumlah Alfamidi di seluruh Indonesia sebanyak 1.529 toko. Kami menargetkan 100 toko baru tahun ini dan sudah terealisasi 66 toko," tuturnya saat ditemui solotrust.com di Restoran Solo's Bistro, Selasa (23/10/2018).
Pihaknya menyasar luar Jawa, antara lain Sumatra dan Sulawesi. Khususnya Palu, Sulawesi Tengah, yang sedang menjadi primadona setelah kena bencana.
Terkait pertumbuhan, ia membeberkan, berdasar data secara nasional tahun 2018 semester 1, pendapatan Alfamidi (yty) tumbuh dari Rp 4,81 triliun menjadi Rp 5,31 triliun.
Adapun laba kotor tumbuh sebesar 56,65 persen dari Rp 34,3 milyar menjadi Rp 53,78 milyar. Dari jumlah itu, kontribusi beverage (sembako) paling besar, mencapai lebih dari 50 persen.
"Sejauh ini pertumbuhan masih positif, dibanding ritel lain, Alfamidi masih bisa tumbuh," imbuhnya.
Menurutnya, secara pendapatan (sales) naik dibanding tahun sebelumnya, sekitar 10 - 11 persen per Juli 2018. Tapi secara keuntungan justru turun sebab beban jauh lebih besar, seperti beban gaji dan beban distribusi.
Untuk menyiasati kondisi tersebut, Alfamidi menyiapkan strategi yang fokus pada pendapatan dari sektor Fee Base Income serta mengoptimalkan ruang di depan toko untuk disewakan.
Fee base income meliputi layanan pembayaran listrik, cicilan, pulsa dan lainnya. Sejauh ini, fee base income berkontribusi sekitar 10 - 20 persen di pendapatan Alfamidi dari ratusan tenant yang bekerjasama.
Strategi itu juga terkait kondisi dimana setahun ini terjadi pergeseran perilaku konsumtif masyarakat. Dari yang membeli produk premium atau berukuran besar, menjadi produk yang kualitas standar atau ukuran lebih kecil.
"Saya tidak setuju bila disebut penurunan daya beli, melainkan pergeseran. Bedanya, bila penurunan ada kebutuhan konsumsi yang dikurangi, sedangkan pergesaran, daya beli dialihkan ke produk lain," jelasnya.
Pihaknya pun harus berkoordinasi dengan supplier untuk stok barang dengan berpatok pada survei AC Nielsen. Terlebih karakteristik masyarakat di berbagai daerah berbeda satu sama lain.
"Paling banyak pembelian makan minum di kota, sedangkan di masyarakat pinggiran lebih suka belanja bulanan. Potensinya memang lebih besar di area Solo pinggiran," terangnya.
Ia mengakui, Alfamidi sudah tidak bisa buka di kota Solo karena kuota pembukaan toko ritel sudah habis. Saat ini, ada 8 toko di kabupaten Sukoharjo dan Boyolali. (Rum)
(wd)