SOLO, solotrust.com - Sampah masih menjadi permasalahan mendasar bagi suatu kota. Surakarta dengan luas sekitar 44 kilometer persegi memiliki kontribusi sampah mencapai 300 ton setiap harinya ke Tempat Pembuangan Akhir.
"Sampah-sampah tersebut dalam kondisi tercampur antara limbah organik 61,95 persen dan non organik 38,5 persen," ungkap akademisi dari Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Dora Kusumastuti kepada solotrust.com, Sabtu (26/1/2019)
Ia menjelaskan sampah organik yang dibuang di landfill atau TPA Putri Cempo terdiri dari daun-daunan sampah makanan yang berasal dari sampah rumah tangga dan sejenis seperti restaurant, hotel, catering, warung dan penyedia layanan makanan. Dampak lingkungan semakin buruk ketika banyak makanan terbuang daripada dikonsumsi.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya pengaturan dan pengelolaan makanan berlebih di hotel, restaurant dan catering. Dalam skala nasional, berdasarkan Food Sustainability Index 2018 dari Economist Intelligence Unit pada kategori middle income countries, Indonesia berada di peringkat 53 dari 67 negara pada kategori pengelolaan makanan secara berkelanjutan.
"Hal ini bermakna masih banyak makanan yang terbuang sia-sia," ujarnya.
Menurut data dari kajian Dora, ada sebanyak 13 juta ton sampah makanan per tahun di Indonesia. Apabila dikelola dengan baik limbah tersebut bisa menghidupi lebih dari 28 juta orang, hampir sama dengan jumlah penduduk miskin yakni 11% dari populasi menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015.
Pada beberapa negara di Amerika Serikat mengkampanyekan mengenai food recovery hierarchy telah diebarluaskan kepada masyarakat. Hal itu mengedepankan pengurangan sampah makanan dan menjadikan penimbunan di landfill (TPA) sebagai opsi yang paling dihindari. Sebagai contoh lain, negara Singapura telah melakukan pilot project daur ulang sampah makanan menjadi bahan kompos dan pembangkit energi pada tahun 2010
Pemerintah pun didorong untuk terlibat langsung proaktif bergabung dalam Milan Urban Food Policy Pact (Pakta Milan) yang concern dalam isu pangan global, salah satunya yang didorong adalah Pemerintah Kota Surakarta.
Pakta Milan bermula dari sebuah konferensi food smart city pada tahun 2014 lalu di Johanesburg, Afrika Selatan. Wali kota milan mempunyai usulan tentang food smart city, kemudian pada oktober 2015 ditandatangani pakta milan, sejauh ini sudah ada 180 kota di dunia yang bergabung dalam pakta milan yang didominasi kota-kota di benua eropa dan amerika.
“Saat ini 50 persen penduduk dunia tinggal di Kota, diproyeksikan pada tahun 2050 lebih banyak lagi mencapai 70 persen penduduk dunia tinggal di kota. Berangkat dari hal itu, isu pangan menjadi perhatian khusus dari sisi ketersediaan bahan pangan, mutu dan harga,” pungkas Sudaryatmo.
Sementara itu, Direktur Yayasan Kakak Surakarta Shoim Sahriyati menambahkan, perlu adanya pengawasan terhadap masuknya makanan ke kantin dari luar untuk menghalau makanan kadaluarsa.
"Kalau ditemukan makanan kadaluarsa harus segera dilaporkan ke pihak sekolah, kan berbeda dengan makanan olahan rumahan. Kalau makanan dari rumah berlebih atau sisa bisa dikonsumsi di rumah," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Yayasan Gita Pertiwi Surakarta Titik Eka Sasanti kini tengah gencar mengkampanyekan gerakan untuk mengurangi limbah maupun sampah sisa makanan, utamanya terhadap hotel, restaurant dan catering.
"Jangan ada sisa makanan di piring, makan secukupnya, kalau pada suatu acara makanan berlebih bisa dibagikan kepada panti asuhan dan sebagainya, ataupin kepada karyawan," ujar Titik. (adr)
(wd)