SOLO, solotrust.com – Kasus dikeluarkannya belasan anak dengan HIV/AIDS (ADHA) dari sekolah di Kota Solo menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan. Dari kasus ini, peran serta pemerintah dinilai sangat dibutuhkan untuk memberi ruang dan hak yang sama kepada mereka.
Sebelumnya, sebanyak 14 siswa pengidap HIV/AIDS di Solo terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah. Mereka ditolak oleh orang tua siswa lain lantaran takut tertular ke anak lainnya.
Untuk sementara, ADHA itu ditampung di Yayasan Lentera. Puger Mulyono selaku pengasuh Yayasan Lentera mengatakan, sudah sepekan ini belasan anak tersebut tidak diperbolehkan lagi masuk sekolah.
“Anak-anak kami yang di SD yang dikeluarkan itu sejak Jumat (8/2/2019), sudah satu minggu ini mereka tidak boleh sekolah,” katanya.
Menurutnya, anak-anak ini tetap harus bersekolah meski mengidap HIV/AIDS. Pihaknya berharap pemerintah ikut hadir untuk memenuhi hak-hak ADHA sebagai anak negara.
“Jadi bukan hanya kami saja yang berjuang keras, tapi pemerintah ikut antisipasi juga, ikut berperan juga, di mana itu negara harus hadir juga dalam hal pendidikan ini, pemerintah juga hadir,” ujarnya, Jumat (15/2/2019).
Kasus seperti ini juga pernah terjadi di daratan Sumatra. Saat itu Oktober 2018, tiga anak sekolah dasar di Desa Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara, ditolak bersekolah karena para orang tua lain khawatir anak-anak mereka dapat tertular.
Dari kejadian ini, menggambarkan bahwa ADHA masih menjadi momok di lingkungan sekolah. Kesadaran orang untuk merangkul mereka juga masih kurang. Yang ada justru ketakutan akan menularnya penyakit ini hingga berbuntut menjauhinya.
Aktivitis yang peduli HIV/AIDS, Muhammad Feizal Anwar mengatakan, masih banyak masyarakat yang belum paham dan menganggap HIV/AIDS jadi momok yang menakutkan hingga mendiskriminasinya.
Feizal ingin masyarakat lebih melek tentang HIV/AIDS, salah satunya dengan bukan dengan menjauhi orangnya tetapi menjauhi penyebab-penyebabnya.
"Konseling dan penyuluhan di sekolah-sekolah bisa lebih ditingkatkan guna memberikan edukasi tentang bahaya pergaulan bebas dan HIV/AIDS, tapi khususnya dari lingkungan keluarga harus memberikan pendidikan moril yang baik, dan mengarahkan anak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan positif semisal, olahraga, seni, dan lainnya, yang jelas jangan ada stigma negatif dan diskriminasi terhadap ODHA,” katanya saat acara persembahan karya seni di Benteng Vastenburg, Solo, Sabtu (1/12/2018).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui laman resminya, menerangkan bahwa virus HIV tidak mudah menular. Karena hanya dapat ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman berisiko, berbagi jarum suntik, produk darah dan organ tubuh, serta dari ibu hamil yang positif dengan HIV dapat menularkan kepada bayinya.
"Perlu diketahui bahwa virus HIV tidak menular melalui penggunaan toilet bersama, gigitan nyamuk/ serangga, menggunakan alat makan bersama, bersalaman/berpelukan, ataupun tinggal serumah dengan ODHA," demikian bunyi keterangan Kemenkes.
Karenanya, berperilaku hidup bersih dan sehat dapat mencegah terjadinya penularan HIV dan tidak perlu menjauhi ODHA. Untuk itu, menjadi ODHA terinfeksi HIV bukanlah penghalang untuk bersosialisasi, bekerja, dan berkeluarga.
Seseorang yang terinfeksi virus HIV berpotensi menularkan meski tidak memiliki ciri yang dapat dilihat secara kasat mata (fisik). Status HIV seseorang hanya dapat diketahui dengan melakukan cek atau pemeriksaan darah di laboratorium. Karena itu, jika merasa pernah melakukan perilaku berisiko atau merasa berisiko tertular segera untuk melakukan tes HIV.
Pemkot Carikan Sekolah bagi ADHA
Menanggapi kasus penolakan ADHA, pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta langsung angkat bicara. Menurut Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, penolakan dari orang tua siswa terhadap sejumlah anak penghuni Yayasan Lentera yang bersekolah di SDN Purwotomo terjadi usai adanya regrouping dengan SDN Bumi.
Namun terlepas dari sebab musabab, pria yang akrab disapa Rudy itu menegaskan bahwa pihaknya terus mengupayakan solusi terbaik bagi ADHA tanpa mendiskriminasi. Ia menekankan akan menampung semua anak untuk bersekolah, termasuk ADHA.
Dengan adanya aksi penolakan tersebut, solusi terdekat yang dilakukan Pemkot Surakarta yakni dengan mencarikan sekolah terdekat untuk mereka.
"Pertama kami coba carikan sekolah terdekat, kalau masih ada penolakan, alternatifnya home schooling di rumah singgah yang sedang kami bahas," jelasnya, Jumat (16/2/2019).
Namun terkait program home schooling, menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Surakarta Etty Retnowati, solusi itu pernah disampaikan kepada pengurus Yayasan Lentera. Namun demikian belum ada kesepahaman terkait program tersebut.
"Sudah ada komunikasi, tapi yayasan belum bisa menerimanya," katanya.
Ketua Yayasan Lentera Yusuf Prasetyo memang tak setuju dengan adanya program home schooling bagi mereka. Program itu menurutnya justru berpotensi merebut hak-hak ADHA untuk bisa bersosialisasi dengan dunia luar.
"Kami ingin anak-anak ini tetap sekolah formal, bukan home schooling. Karena kebutuhan anak ini bukan hanya sebatas belajar di sekolah tapi lebih kepada bersosialisasi dan bermain dengan anak-anak yang sebaya dengan dia di luar panti. Kami ingin mereka melihat dunia luar, ada kebanggaan semangat lebih untuk belajar," kata Yusuf.
Terlepas dari itu semua, edukasi terhadap masyarakat mengenai ADHA ataupun ODHA (orang dengan HIV/AIDS) menjadi sangat penting agar kejadian serupa tak terulang kembali. Peran aktif semua pihak, termasuk pemerintah, dibutuhkan untuk memberi solusi terbaik bagi semuanya. Agar ADHA mendapat haknya sebagai warga negara untuk memperoleh hidup layak dan pendidikan seperti yang diamanatkan Undang-undang Dasar 1945. (adr-dwm-way)
(way)