KLATEN, solotrust.com- Banyaknya regulasi turunan dari UU Desa di tingkat kabupaten selama ini masih bersifat teknokratis dan administrative, sehingga belum mampu menjawab tantangan yang ada di desa.
Dina Mariana selaku Ire Jogjakarta mengatakan,dalam Peraturan Daerah (perda) No 5 Tahun 2017 tentang Badan Permusyawaraan Daerah (BPD) ini mempunyai tugas dan wewenang yang tidak diatur secara utuh sehingga berpotensi mengaburkan fungsi BPD.
"Kami melakukan analisa regulasi tentang BPD dan penganggaran desa di enam kabupaten, salah satunya Klaten. Kami melihat perda tentang pengelolaan keuangan desa. Perda di Klaten ini masih lemah bagi keterwakilan perempuan. Daerah yang maju biasanya perempuan ini diikutsertakan," katanya dalam sosialisasi mewujudkan inklusivitas regulasi tentang BPD dan Perencanaan Penganggaran Desa di Bappeda Klaten, Jumat(24/11/2017).
Menurut dia, masih lemahnya mainstreaming isu inklusi sosial, akuntabilitas sosial dan keadilan terhadap gender menjadikan desa masih kental dengan karakter yang didominasi oleh elite. Selain itu, demokrasi lokal yang seharusnya digerakan oleh tiga elemen, yakni kepemimpinan yang demokrasi, memiliki ide-ide perubahan dan mampu mendesain kebijakan.
"Ya selama ini masih ada ketidakadilan terhadap gender di desa. Setidaknya dalam BPD itu ada satu perempuan. Jadi kesejahteraan milik seluruh warga," kata dia.
Menurut Kasubag Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Bagian Hukum Setda Klaten, Anggoro Beni, dalam pemerintahan desa hak perempuan dan laki-laki itu sama. Hanya saja, yang sering terjadi di lapangan dari kaum perempuan dilibatkan di BPD tidak semua perempuan mau.
"BPD ditingkat desa tetap ada fungsinya, sebab kepala desa apabila membuat kebijakan harus minta persetujuan BPD. Terkait gender diikutsertakan, itu tergantung perempuannya mau nggak, masalahnya itu kan pakai pemilihan. Diikutsertakan tapi kalau tidak terpilih," tandasnya.
Dalam sosialisasi itu dihadiri dari BPD, kepala desa, Dinpermades, Hukum, Bappeda dan LSM.
(jaka-Wd)
()