KARANGANYAR, solotrust.com – Senja mulai tenggelam di ufuk Barat, sekitar pukul 18.00 WIB, ratusan umat Hindu di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar secara beriring-iringan mulai menderapkan langkahnya dengan membawa air suci yang dipercikkan, obor dan sesaji dari Pasraman menuju Kawasan Patung Dewi Sarawati Sendang Pundi Sari Candi Ceto untuk melaksanakan Doa Bersama Atur Piuning Upacara Adat Dawuhan, Jumat (6/9/2019) malam.
Suasana sakral begitu kental terasa di tengah keheningan dan dinginnya udara malam kawasan candi yang berada di lereng Gunung Lawu berketinggian 1496 meter di atas permukaan laut itu, suhu malam itu mencapai 15 derajat celcius, namun tak menyurutkan antusiasme warga umat Hindu yang berjumlah sekitar 60 KK untuk mengikuti prosesi upacara adat baik usia anak-anak hingga dewasa. Mayoritas warga setempat merupakan petani perkebunan.
Para putri mengenakan busana adat kebaya khas Bali, selendang dan jarit sedangkan para putra mengenakan pakaian adat Bali putra dengan ciri khasnya udeng sejenis ikat atau penutup kepala, kamen, kain bawahan, pakaian jas atau kemeja berkerah warna putih, saput hingga sabuk selendang. Beberapa diantaranya ada yang mengenakan pakaian tradisional kejawen.
Berawal dari peradaban abad ke-15, Hindu yang merupakan peninggalan masa akhir Pemerintahan Majapahit menjadi agama paling awal masuk di Dusun Ceto, kemudian barulah masuk Islam dan Kristen. Namun, akulturasi dan kerukunan warga setempat dalam menjaga adat setempat begitu kuat. Oleh sebab itu, kompleks candi hingga saat ini masih digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat persembahyangan, salah satunya Dawuhan, pun pertapaan bagi penganut kejawen.
Upacara Adat Dawuhan merupakan bentuk upacara tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun setiap Sabtu Kliwon Sasi Sura hingga saat ini memasuki wawu 1953 berdasarkan penanggalan Jawa. Upacara dipimpin oleh pemangku adat setempat, prosesi Upacara Adat Dawuhan diawali dengan kirab sesajen dibawa umat menuju ke tempat persembahyangan, sesampai di Meru yang dipercayai sebagai tempat suci dalam kosmologi Hindu, sesaji hasil olahan dan hasil bumi berupa nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk tersebut dipersembahkan untuk di doakan di sekeliling Meru.
Selanjutnya, puluhan penari yang berasal dari dusun setempat, menari Tarian Rejang Renteng di sekeliling Pura untuk membuka prosesi adat Dawuhan, setelah tarian usai ditampilkan, maka berlangsunglah prosesi adat persembahyangan, pemangku adat mengucapkan doa-doa bagi para Dewa diikuti para umat yang sudah bersila di atas tikar halaman persembahyangan. Suara kelinting lonceng menambah ke-khusyukan umat merendahkan diri mereka di hadapan Tuhan. Sarana yang digunakan diantaranya dupa dan kembang.
Prosesi ritual berlangsung selama kurang lebih 2,5 jam diakhiri mendak tirtha atau panglukatan di mana umat diperciki air suci yang diyakini sebagai intisari kehidupan untuk kesejahteraan dan keselamatan manusia. Lalu ditutup dengan kembul bujono atau ngalap berkah menyurut sesaji secara bersama-sama sebagai anugerah dari Tuhan.
Pada keesokan harinya, tepat Sabtu Kliwon (7/8/2019) pagi. Puncak prosesi Upacara Adat Dawuhan digelar di Kawasan Patung Dewi Sarawati Sendang Pundi Sari Candi Ceto diikuti peserta dari masyarakat sekitar baik umat Hindu, Islam maupun Kristen sama-sama guyub rukun turut melestarikan tradisi budaya tersebut.
“Upacara Adat Dawuhan ini sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa (Sang Hyang Widhi Wasa). Karena kita telah diberikan sumber kehidupan yaitu sumber mata air,” kata Ketua Perhimpunan Pemuda Hindu Kabupaten Karanganyar, Teguh Pambudi kepada solotrustcom usai prosesi upacara
“Sumber mata air biasa dipergunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai air minum, memasak ataupun untuk untuk mengalir pertanian penduduk desa. Lalu kita adakan doa bersama yang sudah turun temurun ini sebagai rasa syukur kepada Tuhan kenikmatan air sebagai penghidupan, kehidupan warga juga ayem tentrem sebagai berkah dari Tuhan,” sambung Pemangku adat, Kariyo Diweryo.
Teguh yang juga merupakan warga Dusun Ceto berharap, kegiatan upacara-upacara adat seperti ini bisa dirangkaikan dengan agenda budaya dan pariwisata lokal sebagai bagian dari penguatan adat umat Hindu dalam ranah pariwisata.
“Harapan kami, masyarakat luas bisa turut mengenal upacara-upacara adat ini, pemerintah juga bisa memadukan upacara adat menjadi festival budaya yang besar dan menarik lebih banyak wisatawan domestik maupun mancanegara,” kata Pria Hindu kelahiran 6 Juni 1990 itu. (adr)
(wd)